BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana
Pencucian Uang ini ada masalah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak
hukum. Setiap kinerja dan profesionalitas penegak hukum yang tidak
memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga
mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan
pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
(PPATK) mencatat adanya peningkatan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan
(LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007 LTKM tercatat
hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6 persen
menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan yang
dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil
analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum
berdasarkan laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari
602 kasus atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23 kasus atau hasil
analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan hasil dari 199 LTKM).
Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK ke Kejaksaan Agung
sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan menggunakan dakwaan
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kondisi demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami
kegagalan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak
seimbangnya jumlahkasus temuan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan
yang berindikasipencucian uang, dengan jumlah kasus yang diselesaikan aparat
penegak hukum.Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam
penyelesaian suatu perkara, karena ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya
bertujuan untukmemperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui
suatu putusan Hakim, didasarkan pada penerapan hukum pembuktian. Dengan
perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan
keadilan suatu perkara sangat tergantung dalam proses pembuktian yang
sesuai dengan ketentuan.
Alat-Alat bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana
Pencucian Uang (money laundring) terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak
Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan :
“Alat bukti yang sah dalam pembukitan Tindak
Pidana Pencucian Uang ialah :
a.
alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;dan/atau
b.
alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau
disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan
dokumen.”
Dengan demikian alat-alat pembuktian yang
ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan
lebih beragam jikadibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat
cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang
dengan cara-cara yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang ditentukan
KUHAP tersebut merupakan bagian dari alat-alat bukti yang terdapat dalam
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kejahatan money laundering tidak hanya
merupakan permasalahan di bidang penegakan hukum, namun juga menyangkut
ancaman keamanan nasional dan internasional suatu negara. Sehubungan
dengan hal tersebut upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pemutihan
uang telah menjadi perhatian internasional yang antara lain
dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral.
1.2 Rumusan Masalah
1. apa itu tindak pidana pencucian uang?
2. apakah faktor pendorong terjadi pencucian uang?
3. Proses pencucian Uang
4. dampak dari pencucian
uang
5. peraturan
perundang tindak pidana pencucian uang
BAB
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pencucian Uang
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang
atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut money laundering, sudah
merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional.
Walau pun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan
komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau money
laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha
dan perusahaan, institusi-institusi, organisasi-organisasi, negara-negara yang
sudah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, maupun para ahli masing-masing
mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda-beda.
Pencucian uang adalah tindakan-tindakan yang bertujuan
untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan
secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya, money
laundering adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan
oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan
dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul
uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke
dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat
dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.
2.2 Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang
Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang
sudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar
pengungkapannya. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang
terjangkau seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan.
Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang
yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap
tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan,
kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana
yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.
Industri perbankan merupakan sarana efektif untuk
dijadikan sumber pencucian uang dan juga sebagai mata rantai nasional dan
internasional dalam proses pencucian uang. Hal ini disebabkan sarana perbankan
cukup banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang
dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana.
Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a) Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini
terjadinya globalisasi memang mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat
memanfaatkan sistem financial dan perbankan internasional untuk melakukan
kegiatannya.
b) Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi.
Perkembangan teknologi ini mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling
mendorong berkembangnya pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi
seperti internet misalnya, dapat mengakibatkan hilangnya batas-batas antar
negara.
c) Yang ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan
bank. Ketentuan ini mengakibatkan kesulitan bagi pihak berwenang untuk
menyelidiki suatu rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara
yang ilegal.
d) Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan
perbankan di suatu negara untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank
dengan nama samaran atau tanpa nama atau anonim.
e) Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu
electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya
electronic commerce atau ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian
uang yang dilakukan melalui jaringan internet ini biasa disebut sebagai
cyber-laundering.
f) Faktor keenam adalah karena dimungkinkannya praktek
pencucian uang dengan cara yang disebut layering atau pelapisan.
Dengan cara ini, pihak yang menyimpan dana di bank bukanlah pemilik
sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa
atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan
uang tersebut di sebuah bank.
g) Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum
berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara lawyer dengan kliennya, dan
antara akuntan dengan kliennya.
h) Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah
yang bersangkutan tidak bersungguh-sungguh untuk memberantas praktek pencucian
uang yang dilakukan melalui sistem perbankan negara tersebut.
i)
Faktor kesembilan
adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan pencucian uang di sebuah
negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang
tentang pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak
pidana.
2.3 Proses Pencucian uang ( Money Laundryng )
Namun demikian, non-bank financial institution juga
merupakan target yang tak kalah menarik bagi para pelaku pencucian uang.
Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian
uang telah membuat langkah terobosan dengan mempergunakan lembaga keuangan non
bank sebagai sarana pencucian uang. Secara sederhana, proses pencucian uang
dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakniplacement, layering dan integration
a)
Tahap Penempatan / placement
a.
Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku dalam
hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi misalnya dapat
dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan suatu tahapan
melakukan placement dan sekaligus memuat unsur layering danintegration. Pengiriman
uang melalui perusahaan pengiriman uang (money transfer), placement pada
lembaga pembiayaan dan venture capital serta pelunasan
pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing)merupakan
modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan
menggunakan non-bank financial institution.
b.
Tahap ini merupakan menempatakan Dana yang
dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang
kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain
sebagai berikut:
1.
Penyelundupan Dana (Menempatkan Dana pada
Bank).
2.
Menyetorkan uang pada bank pada bank
sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3.
Menyeludupkan uang tunai dari suatu Negara
ke Negara lain.
4.
Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah
sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
5.
Membeli barang-barang berharga yang
bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, misalnya bisnis properti, membelikan
hadiah yang nilainya tinggi / mahal sebagai penghargaan / hadiah kepada pihak
lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan
lain.
b. Tahap Pelapisan / layering
Pelapisan (layering) bertujuan menghilangkan jejak, baik
ciri-ciri aslinya atau asal usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan
transfer Dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara
ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali. Biasanya cara ini di lakukan
dengan meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai
suatu kegiatan usaha secara legal.Dengan melakukan cara seperti ini, maka
kelihatannya bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan
hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Bentuk kegiatan ini antara lain;
6.
Transfer dana dari suatu bank ke bank lain
7.
Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan
untuk mendukung transaksi yang sah
8.
Memindahkan uang tunai lintas batas Negara
melalui jaringan kegiatan usaha yang sah.
c.Tahap Penyatuan / integration
Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang
kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas,
yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai
kegiatan-kegiatan legal. Sehingga uang kotor itu kelihatan syah..
Dalam Undang - Undang TPPU
pengertian tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 3 dan pasal 6.Pasal3
menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan
atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa
ke luar negeri, menukarkan, menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana
karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat lima
tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda. paling sedikit lima miliar
rupiah dan paling banyak lima belas miliar rupiah. Sementara itu Pasal
6 Undang-undang yang sarna mengatur, bahwa setiap orang yang menerima atau
menguasai:penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan
dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, dipidana dengan dengan hukuman yang sarna seperti diatur
dalam Pasal 3.
2.4 Dampak Pencucian Uang
Praktek pencucian uang atau money
laundering memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan
tertentu. Secara sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban.
Praktek pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan,
perampokan atau pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Masyarakat dunia internasional pada umumnya justru
berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa praktik pencucian uang yang dilakukan oleh
organisasi-organisasi kejahatan dan para penjahat mempunyai akibat yang amat
merugikan. Dalam kegiatan pencucian uang, dana yang menjadi obyek dari
kegiatannya adalah uang yang diperoleh melalui tindak kejahatan. Setelah
melalui proses pencucian uang, uang tersebut akan menjadi sedemikian “tersamar”
sehingga sulit untuk dideteksi oleh pihak yang berwenang dan sulit untuk diusut
kembali ke sumbernya. Dan karena tidak dapat diusut kembali ke sumbernya, maka
para pelaku kejahatan tersebut akan dapat dengan mudah menggunakan uang
tersebut untuk mengembangkan kejahatannya, yang akhirnya akan membawa kerugian
besar pada masyarakat. Beberapa dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan
oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat antara lain:
a) Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba,
penyeludup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal
ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b) Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong
masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat
dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat
bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
c) Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari
pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan
mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d) Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam
keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui
perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap
keamanan nasional.
e) Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah
(Undermining in the Legitimate Privet sector). Salah satu dampak mikro
ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan
seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan
uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya.
Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar
jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa
yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah
pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah
harga produksinya. Dengan demikian mereka akan memiliki competitive
advantage terhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis
yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f) Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali
pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.
2.5 Peraturan Perundangan Tentang Pencucian Uang di
Indonesia
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang
sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika
diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya
pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan sebagai suatu tindak pidana
sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga” dan sasaran kegiatan pencucian
uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden
Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk
mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan pencucian
uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat
diperlukan bagi pembangunan di Indonesia.
Negara Indonesia ini memang memiliki kondisi yang
menguntungkan sekali bagi para pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi
tersebut antara lain adalah sistem devisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan
bank, belum memadainya perangkat hukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas,
dan lainnya.
Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia
memungkinkan tiap orang bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing
dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum
keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur agar setiap devisa yang keluar
masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank Indonesia sebagaimana yang
digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964. Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini
memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional
dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia,
akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan
pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian
uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan
pihak berwenang yang ingin melacaknya.
Beberapa kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat
Indonesia didesak oleh dunia internasional untuk segera memberlakukan UU
pencucian uang dan mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang. Pemberantasan
kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun
pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.
Sebelum diundangkannya UU No 15 Tahun 2002, Pemerintah
Indonesia sudah mulai berpartisipasi dalam pemberantasan pencucian uang. Adapun
beberapa peraturan dalam perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan usaha
pemberantasan pencucian uang antara lain:
a. Peraturan Perundang-undangan Tersebar
1. KUHP, khususnya pasal 480 dan pasal 481 mengenai Penadahan.
2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
4. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
b. Peraturan Dalam Undang-undang Perbankan
1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
2. UU No. 7 Tahun 1998
3. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa.
c. Peraturan Dan Surat Edaran Bank Indonesia
1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
2. PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
3. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi
Rupiah Dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank.
4. PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
5. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tentang Tata Usaha
Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.
Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian
diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU
No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian
Uang, terjadi perubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan
pencucian uang di Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU
ini telah menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana,
sehingga akan ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini.
Perubahan yang kedua adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan
besar dalam pencegahan dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia
yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam pembahasan kondisi setelah diundangkannya UU
No.8 Tahun 2010 ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah
Pokok-Pokok UU No. 8 Tahun 2010 dalam hubungannya dengan pengkriminalisasian
pencucian uang di Indonesia, bagian kedua adalah mengenai tindak pidana
pencucian uang dan tindak pidana lainnya yang terkait, sedangkan pada bagian
ketiga pembahasan akan dikhususkan pada PPATK sebagai “operator pelaksana” dari
UU ini.
Dari perspektif mikro pencegahan dan
pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat
dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan
ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun,
dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan
investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa
menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari
masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat
lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan
tugas yang dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia
masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas
sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk
melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam
implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di
Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick
and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak
1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta
politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan
keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan
ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta
kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus
kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan
kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan
peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi
kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin
penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum
menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha
tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam
Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Money laundering secara hurufiah juga
diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula
pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing ill egal income).
Kata money daam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang
menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit. Istilah
kita menyebut beragam pula : uang kotor, uang haram, uang panas atau uang
gelap. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa
kejahatan (besar) tetap hidup.
Kejahatan dan tindak pidana kejahatan
pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling
membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian Uang
mungkin sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri. Pada dekade 1920-an
sampai 1930-an saat mana kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan
pencucian uang dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu
dilarang, pengelakan pembayaran pajak.
Al Capone pun dimasukkan ke penjara
berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act. Dan Amerika Serikatlah yang
pertama kali menyatakan bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan. Hampir
bersamaan pula waktunya ketika Swiss pada awal tahun tahun 1930-an melaksanakan
pemberlakuan prinsip rahasia bank, dan pencucian uang memeperoleh pijakan
kokoh. Pada saat itu petinggi-petinggi Nazi Jerman melakukan pencucian uang
dengan memanfaatkan prinsip rahasia bank di Swiss. Industri pasar modal adalah
industri yang dinamis dan sarat teknologi informasi, bersifat borderless dan
multidimensi, hamper menyentuh semua sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan
Negara.
Perlu ketaatan yang sangat konsiten
dan dinamis dalam upaya menjaga keteraturan, kewajaran serta bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari bahwa pasar modal
membuka peluang bagi pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang yang
diperolehnya dari hasil tindak pidana di segala bidang. Pasar Modal merupakan
salah satu lahan yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian
uang. Minimnya pelaporan transaksi keuangan mencurigakaan oleh Penyedia Jasa
Keuangan Pasar (PJK) di Modal Pasar tidak secara otomatis diterima bahwa pasar
modal kita bersih dari Pencucian Uang. Karena transaksi di Pasar Modal
melibatkan arus uang dan arus efek.
Banyak hal yang harus dibenahi oleh
industri pasar modal agar dapat menjadi bagian dari upaya nyata pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk dalam hal ini
penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan
yang baik). Kesulitan mendapatkan nasabah serta persaingan usaha antar
perusahaan efek dan upaya untuk memperbesar keuntungan tidak sebanding dengan
risiko yang harus dihadapi dalam hal pembiaran perusahaan efek untuk dijadikan
media dalam rangka pencucian uang. Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar
modal, perlu memiliki kesamaan pemahaman bahwa upaya pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah juga menjadi bagian dari
tanggung jawabnya.
Walaupun transaksi dilakukan
melalui atau melibatkan penyedia jasa keuangan lainnya, hal tersebut tidak
mengurangi tanggung jawab dan kewajiban dari PJK pasar modal untuk melaksanakan
kewajiban pelaporan atas adanya Transaksi Keuangan yang Mencurigakan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Pencucian uang atau money laundry adalah
perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
2. Guna mencegah terjadinya tindak
pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana
Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU di bentuklah Pusat Pelaporan dan
Analisis Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK. Lembaga ini merupakan lembaga
independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas
tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
3.2 Saran
1. Upaya pencegahan dilakukan baik di tiap
negara (secara domestik) maupun secara internasional. Namun inti dari langkah
pencegahan baik secara domestik dan internasional adalah Sama, yaitu
memperketat aliran dana yang masuk maupun keluar dari suatu negara. Seperti
yang dilakukan bank yang mulai memperketat asal usul Dana yang akan di simpan
oleh nasabah. Selain itu, dengan adanya United Nations Convention
AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau
yang lebih dikenal UN Drugs Convention, diharapkan dapat
meningkatkan kerjasama antar negara dan meningkatkan komitmen untuk memberantas
money laundry.
2. Upaya untuk mencegah terjadinya
pencucian uang di Indonesia, dibutuhkan partisipasi dan dukungan masyarakat.
Sekalipun ada ketentuan tentang anti pencucian uang, tidak ada yang perlu
dikhawatirkan untuk menyimpan uang di bank. Jika uang Anda bersih, kenapa harus
risih?
.
DAFTAR PUSTAKA
Garnasih yenti. 2009. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering).Jakarta:
Universitas Indonesia
Undang - Undang No.15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Publishing Co.,
1990, www.google.com/Pengertian PPATK/yeti ganarsih/17 juli
2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar