Kamis, 26 Maret 2015

Makalah Tindak Pidana Pencurian Uang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada masalah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Setiap kinerja dan  profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya  peningkatan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007 LTKM tercatat hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6 persen menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum berdasarkan laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari 602 kasus atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23  kasus atau hasil analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan hasil dari 199 LTKM). Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK ke Kejaksaan Agung sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan menggunakan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kondisi demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami kegagalan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak seimbangnya jumlahkasus temuan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasipencucian uang, dengan jumlah kasus yang diselesaikan aparat penegak hukum.Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, karena ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya bertujuan untukmemperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui suatu putusan  Hakim, didasarkan pada penerapan hukum pembuktian. Dengan perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan suatu perkara  sangat tergantung dalam proses pembuktian yang sesuai dengan ketentuan. 
Alat-Alat bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring) terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan :
“Alat bukti  yang sah dalam pembukitan Tindak Pidana Pencucian Uang ialah :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.”

Dengan demikian  alat-alat pembuktian yang ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan lebih beragam jikadibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan cara-cara  yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang ditentukan KUHAP tersebut merupakan  bagian dari alat-alat bukti yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kejahatan  money laundering  tidak hanya merupakan permasalahan di bidang penegakan hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan internasional suatu negara. Sehubungan dengan hal tersebut upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pemutihan uang telah menjadi perhatian internasional yang antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral.

1.2 Rumusan Masalah
1. apa itu tindak pidana pencucian uang?
2. apakah faktor pendorong terjadi pencucian uang?
3. Proses pencucian Uang
4. dampak dari pencucian uang      
        5. peraturan perundang tindak pidana pencucian uang  









BAB
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pencucian Uang
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut  money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional. Walau pun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau  money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, institusi-institusi, organisasi-organisasi, negara-negara yang sudah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, maupun para ahli masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda-beda.
Pencucian uang adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya,  money laundering  adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.

2.2 Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang
Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar pengungkapannya. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.
Industri perbankan merupakan sarana efektif untuk dijadikan sumber pencucian uang dan juga sebagai mata rantai nasional dan internasional dalam proses pencucian uang. Hal ini disebabkan sarana perbankan cukup banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana.
Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a)      Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini terjadinya globalisasi memang mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat memanfaatkan sistem financial dan perbankan internasional untuk melakukan kegiatannya.
b)      Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi ini mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling mendorong berkembangnya pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi seperti internet misalnya, dapat mengakibatkan hilangnya batas-batas antar negara.
c)      Yang ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan ini mengakibatkan kesulitan bagi pihak berwenang  untuk menyelidiki suatu rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara yang ilegal.
d)     Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di suatu negara untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank dengan nama samaran atau tanpa nama atau anonim.
e)      Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya  electronic commerce atau  ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan melalui jaringan internet ini biasa disebut sebagai cyber-laundering.
f)       Faktor keenam adalah karena dimungkinkannya praktek pencucian uang dengan cara yang disebut  layering  atau pelapisan. Dengan cara ini, pihak yang menyimpan dana di bank bukanlah pemilik sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di sebuah bank.
g)      Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara  lawyer dengan kliennya, dan antara akuntan dengan kliennya.
h)      Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah yang bersangkutan tidak bersungguh-sungguh untuk memberantas praktek pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan negara tersebut.
i)        Faktor kesembilan adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan pencucian uang di sebuah negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana.


2.3 Proses Pencucian uang ( Money Laundryng )
Namun demikian, non-bank financial institution juga merupakan target yang tak kalah menarik bagi para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana pencucian uang. Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakniplacement, layering dan integration
a)      Tahap Penempatan / placement
a.       Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan suatu tahapan melakukan placement dan sekaligus memuat unsur layering danintegration. Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang (money transfer), placement pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta pelunasan pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing)merupakan modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan menggunakan non-bank financial institution.
b.      Tahap ini merupakan menempatakan Dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
1.        Penyelundupan Dana (Menempatkan Dana pada Bank).
2.        Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3.        Menyeludupkan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain.
4.        Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
5.        Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, misalnya bisnis properti, membelikan hadiah yang nilainya tinggi / mahal sebagai penghargaan / hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.

b. Tahap Pelapisan / layering
            Pelapisan (layering) bertujuan menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer Dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali. Biasanya cara ini di lakukan dengan meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal.Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatannya bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Bentuk kegiatan ini antara lain;
6.        Transfer dana dari suatu bank ke bank lain
7.        Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah
8.        Memindahkan uang tunai lintas batas Negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah.
c.Tahap Penyatuan / integration
            Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Sehingga uang kotor itu kelihatan syah..

            Dalam Undang - Undang TPPU pengertian tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 3 dan pasal 6.Pasal3 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda. paling sedikit lima miliar rupiah dan paling banyak lima belas miliar rupiah. Sementara itu Pasal 6 Undang-undang yang sarna mengatur, bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai:penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan dengan hukuman yang sarna seperti diatur dalam Pasal 3.
2.4 Dampak Pencucian Uang
   Praktek pencucian uang atau money laundering memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan tertentu. Secara sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban. Praktek pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, perampokan atau pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Masyarakat dunia internasional pada umumnya justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa praktik pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan para penjahat mempunyai akibat yang amat merugikan. Dalam kegiatan pencucian uang, dana yang menjadi obyek dari kegiatannya adalah uang yang diperoleh melalui tindak kejahatan. Setelah melalui proses pencucian uang, uang tersebut akan menjadi sedemikian “tersamar” sehingga sulit untuk dideteksi oleh pihak yang berwenang dan sulit untuk diusut kembali ke sumbernya. Dan karena tidak dapat diusut kembali ke sumbernya, maka para pelaku kejahatan tersebut akan dapat dengan mudah menggunakan uang tersebut untuk mengembangkan kejahatannya, yang akhirnya akan membawa kerugian besar pada masyarakat. Beberapa dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat antara lain:
a)      Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b)      Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
c)      Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d)     Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
e)      Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining in the Legitimate Privet sector).  Salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka  akan memiliki  competitive advantage terhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f)       Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.

2.5 Peraturan Perundangan Tentang Pencucian Uang di Indonesia
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga” dan sasaran kegiatan pencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia.
Negara Indonesia ini memang memiliki kondisi yang menguntungkan sekali bagi para pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah sistem devisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan bank, belum memadainya perangkat hukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas, dan lainnya.
Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964.  Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan pihak berwenang yang ingin melacaknya.
Beberapa kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat Indonesia didesak oleh dunia internasional untuk segera memberlakukan UU pencucian uang dan mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang. Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.
Sebelum diundangkannya UU No 15 Tahun 2002, Pemerintah Indonesia sudah mulai berpartisipasi dalam pemberantasan pencucian uang. Adapun beberapa peraturan dalam perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan usaha pemberantasan pencucian uang antara lain:
a. Peraturan Perundang-undangan Tersebar
            1. KUHP, khususnya pasal 480 dan pasal 481  mengenai Penadahan.
            2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
            4. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
b. Peraturan Dalam Undang-undang Perbankan
            1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
            2. UU No. 7 Tahun 1998
            3. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa.
c. Peraturan Dan Surat Edaran Bank Indonesia
            1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan             dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
            2. PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
3. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank.
            4. PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
            5. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tentang Tata Usaha

Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.
Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadi perubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang di Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam pembahasan kondisi setelah diundangkannya UU No.8 Tahun 2010 ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah Pokok-Pokok UU No. 8 Tahun 2010 dalam hubungannya dengan pengkriminalisasian pencucian uang di Indonesia, bagian kedua adalah mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya yang terkait, sedangkan pada bagian ketiga pembahasan akan dikhususkan pada PPATK sebagai “operator pelaksana” dari UU ini.
Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Money laundering secara hurufiah juga diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing ill egal income). Kata money daam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit. Istilah kita menyebut beragam pula : uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kejahatan (besar) tetap hidup.
Kejahatan dan tindak pidana kejahatan pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian Uang mungkin sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an saat mana kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang, pengelakan pembayaran pajak.
Al Capone pun dimasukkan ke penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act. Dan Amerika Serikatlah yang pertama kali menyatakan bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan. Hampir bersamaan pula waktunya ketika Swiss pada awal tahun tahun 1930-an melaksanakan pemberlakuan prinsip rahasia bank, dan pencucian uang memeperoleh pijakan kokoh. Pada saat itu petinggi-petinggi Nazi Jerman melakukan pencucian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia bank di Swiss. Industri pasar modal adalah industri yang dinamis dan sarat teknologi informasi, bersifat borderless dan multidimensi, hamper menyentuh semua sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan Negara.
Perlu ketaatan yang sangat konsiten dan dinamis dalam upaya menjaga keteraturan, kewajaran serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari bahwa pasar modal membuka peluang bagi pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang yang diperolehnya dari hasil tindak pidana di segala bidang. Pasar Modal merupakan salah satu lahan yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Minimnya pelaporan transaksi keuangan mencurigakaan oleh Penyedia Jasa Keuangan Pasar (PJK) di Modal Pasar tidak secara otomatis diterima bahwa pasar modal kita bersih dari Pencucian Uang. Karena transaksi di Pasar Modal melibatkan arus uang dan arus efek.
Banyak hal yang harus dibenahi oleh industri pasar modal agar dapat menjadi bagian dari upaya nyata pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Kesulitan mendapatkan nasabah serta persaingan usaha antar perusahaan efek dan upaya untuk memperbesar keuntungan tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi dalam hal pembiaran perusahaan efek untuk dijadikan media dalam rangka pencucian uang. Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar modal, perlu memiliki kesamaan pemahaman bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
 Walaupun transaksi dilakukan melalui atau melibatkan penyedia jasa keuangan lainnya, hal tersebut tidak mengurangi tanggung jawab dan kewajiban dari PJK pasar modal untuk melaksanakan kewajiban pelaporan atas adanya Transaksi Keuangan yang Mencurigakan.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.  Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
2.  Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU di bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
3.2 Saran
1.  Upaya pencegahan dilakukan baik di tiap negara (secara domestik) maupun secara internasional. Namun inti dari langkah pencegahan baik secara domestik dan internasional adalah Sama, yaitu memperketat aliran dana yang masuk maupun keluar dari suatu negara. Seperti yang dilakukan bank yang mulai memperketat asal usul Dana yang akan di simpan oleh nasabah. Selain itu, dengan adanya United Nations Convention AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention, diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar negara dan meningkatkan komitmen untuk memberantas money laundry.
2.  Upaya untuk mencegah terjadinya pencucian uang di Indonesia, dibutuhkan partisipasi dan dukungan masyarakat. Sekalipun ada ketentuan tentang anti pencucian uang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk menyimpan uang di bank. Jika uang Anda bersih, kenapa harus risih?

.  


DAFTAR PUSTAKA
Garnasih yenti. 2009. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering).Jakarta: Universitas Indonesia
Undang - Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Publishing Co., 1990, www.google.com/Pengertian PPATK/yeti ganarsih/17 juli 2010


Tidak ada komentar:

Posting Komentar