BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Kemajuan suatu negara sangat
ditentukan oleh kemampuan dan keberhasilannya dalam melaksanakan pembangunan.
Pembangunan sebagai suatu proses perubahan yang direncanakan mencakup semua
aspek kehidupan masyarakat. Efektifitas dan keberhasilan pembangunan terutama
ditentukan oleh dua faktor, yaitu sumber daya manusia, yakni (orang-orang yang
terlibat sejak dari perencanaan samapai pada pelaksanaan) dan pembiayaan.
Diantara dua faktor tersebut yang paling dominan adalah faktor manusianya. Indonesia merupakan
salah satu negara terkaya di Asia dilihat dari keanekaragaman
kekayaan sumber daya alamnya. Tetapi ironisnya, negara tercinta ini
dibandingkan dengan negara lain di kawasan Asia bukanlah merupakan sebuah
negara yang kaya malahan termasuk negara yang miskin. Mengapa demikian? Salah
satu penyebabnya adalah rendahnya kualitas sumber daya manusianya. Kualitas
tersebut bukan hanya dari segi pengetahuan atau intelektualnya tetapi juga
menyangkut kualitas moral dan kepribadiannya. Rapuhnya moral
dan rendahnya tingkat kejujuran dari aparat penyelenggara negara menyebabkan
terjadinya korupsi. Korupsi di Indonesia dewasa ini sudah merupakan
patologi social (penyakit social) yang sangat berbahaya yang mengancam semua
aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi telah
mengakibatkan kerugian materiil keuangan negara yang sangat besar. Namun yang
lebih memprihatinkan lagi adalah terjadinya perampasan dan pengurasan keuangan
negara yang dilakukan secara kolektif oleh kalangan anggota legislatif dengan
dalih studi banding, THR, uang pesangon dan lainsebagainya di luar batas
kewajaran. Bentuk perampasan dan pengurasan keuangan negara demikian terjadi
hampir di seluruh wilayah tanah air. Hal itu merupakan cerminan rendahnya
moralitas dan rasa malu, sehingga yang menonjol adalah sikap kerakusan dan aji
mumpung. Persoalannya adalah dapatkah korupsi diberantas? Tidak ada jawaban
lain kalau kita ingin maju, adalah korupsi harus diberantas. Jika kita tidak
berhasil memberantas korupsi, atau paling tidak mengurangi sampai pada
titik nadir yang paling rendah maka jangan harap Negara ini akan mampu
mengejar ketertinggalannya dibandingkan negara lain untuk menjadi sebuah negara
yang maju. Karena korupsi membawa dampak negatif yang cukup luas dan dapat
membawa negara ke jurang kehancuran.
1.2. Tujuan
Untuk memberikan arah,
penulis bermaksud membuat suatu perumusan masalah sesuai dengan arah yang
menjadi tujuan dan sasaran penulisan dalam makalah ini. Perumusan masalah dalam
makalah ini antara lain:
1. Untuk
mengetahui pengertian korupsi.
2. Untuk
mengetahui penyebab atau latar belakang terjadinya korupsi.
3. Untuk
mengetahui macam-macam dari korupsi.
4. Untuk
mengetahui dampak adanya korupsi.
5. Untuk
mengetahui langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk memberantas korupsi
1.3.
Sistematika Penulisan
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR
BELAKANG
1.2. TUJUAN
1.3.
SISTEMATIKA PENULISAN
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1.
PENGERTIAN KORUPSI SECARA TEORITIS
2.2. TINDAK
PIDANA KORUPSI DALAM PERSPEKTIF NORMATIF
BAB
III ANALISIS
BAB IV
PENUTUP
4.1.KESIMPULAN
4.2.SARAN
DAFTAR
PUSTAKA
BAB II
LANDASAN TEORI
LANDASAN TEORI
2.1.
Pengertian Korupsi secara Teoritis
Kata Korupsi
berasal dari bahasa latin, Corruptio-Corrumpere yang
artinya busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik atau menyogok. Menurut Dr.
Kartini Kartono, korupsi adalah tingkah laku individu yang menggunakan wewenang
dan jabatan guna mengeduk keuntungan, dan merugikan kepentingan umum.
Korupsi menurut Huntington (1968) adalah perilaku pejabat publik yang menyimpang dari
norma-norma yang diterima oleh masyarakat, dan perilaku menyimpang ini
ditujukan dalam rangka memenuhi kepentingan pribadi. Maka dapat disimpulkan
korupsi merupakan perbuatan curang yang merugikan Negara dan masyarakat luas
dengan berbagai macam modus.
Banyak para ahli yang mencoba merumuskan korupsi, yang
jka dilihat dari struktrur bahasa dan cara penyampaiannya yang berbeda, tetapi
pada hakekatnya mempunyai makna yang sama. Kartono (1983) memberi batasan
korupsi sebagi tingkah laku individu yang menggunakan wewenang dan jabatan guna
mengeduk keuntungan pribadi, merugikan kepentingan umum dan negara. Jadi
korupsi merupakan gejala salah pakai dan salah urus dari kekuasaan, demi
keuntungan pribadi, salah urus terhadap sumber-sumber kekayaan negara dengan
menggunakan wewenang dan kekuatankekuatan formal (misalnya
denagan alasan hukum dan kekuatan senjata) untuk memperkaya diri sendiri.
Korupsi terjadi disebabkan adanya penyalahgunaan
wewenang dan jabatan yang dimiliki oleh pejabat atau pegawai demi kepentingan
pribadi dengan mengatasnamakan pribadi atau keluarga, sanak saudara dan teman.
Wertheim (dalam Lubis, 1970) menyatakan bahwa seorang pejabat dikatakan
melakukan tindakan korupsi bila ia menerima hadiah dari seseorang yang
bertujuan mempengaruhinya agar ia mengambil keputusan yang menguntungkan
kepentingan si pemberi hadiah. Kadang-kadang orang yang menawarkan hadiahdalam
bentuk balas jasa juga termasuk dalam korupsi. Selanjutnya,
Wertheim menambahkan bahwa balas jasa dari pihak ketiga yang diterima atau
diminta oleh seorang pejabat untuk diteruskan kepada keluarganya atau
partainya/ kelompoknya atau orang-orang yang mempunyai hubungan pribadi
dengannya, juga dapat dianggap sebagai korupsi. Dalam keadaan yang demikian,
jelas bahwa ciri yang paling menonjol di dalam korupsi adalah tingkah laku
pejabat yang melanggar azas pemisahan antara kepentingan pribadi dengan
kepentingan masyarakat, pemisaham keuangan pribadi dengan masyarakat.
2.2. Tindak Pidana Korupsi Dalam Perspektif Normatif
Memperhatikan Undang-undang nomor 31 tahun 1999
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001,maka tindak Pidana Korupsi itu dapat dilihat
dari dua segi yaitu korupsi Aktif dan Korupsi Pasif, Adapun yang dimaksud
dengan Korupsi Aktif adalah sebagai berikut :
- Secara
melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999)
- Dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau Korporasi yang
menyalahgunakan kewenangan,kesempatan atau dapat merugikan keuangan Negara,atau
perekonomian Negara (Pasal 3 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Memberi
hadiah Kepada Pegawai Negeri dengan mengingat kekuasaan atau
wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah
atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 4
Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999)
- Percobaan
pembantuan,atau pemufakatan jahat untuk melakukan Tindak pidana Korupsi (Pasal
15 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara Negara dengan
maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5 ayat (1) huruf a Undang-undang Nomor
20 tahun 2001)
- Memberi
sesuatu kepada pegawai negeri atau Penyelenggara negara karena atau berhubung
dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya dilakukan atau tidak
dilakukan dalam jabatannya (Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20
Tagun 2001)
- Memberi
atau menjanjikan sesuatu kepada Hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 6 ayat (1) huruf a
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pemborong,ahli
bangunan yang pada waktu membuat bangunan atau penjual bahan bangunan yang pada
waktu menyerahkan bahan bangunan,melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keamanan orang atau barang atau keselamatan negara dalam keadaan
perang (Pasal (1) huruf a Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Setiap
orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan,sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a
(Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Setiap
orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara nasional Indonesia
atau Kepolisian negara Reublik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat
membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7 ayat (1) huruf c
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Setiap
orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara nasional
indpnesia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja mebiarkan
perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c (pasal 7 ayat (1) huruf d
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
- Pegawai
negeri atau selain pegawai negeri yyang di tugaskan menjalankan suatu jabatan
umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu,dengan sengaja
menggelapkan uang atau mebiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan oleh orang lain atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut
(Pasal 8 Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Pegawai
negeri atau selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan
umum secara terus menerus atau sementara waktu,dengan sengaja memalsu buku-buku
atau daftar-daftar khusus pemeriksaan administrasi (Pasal 9 Undang-undang Nomor
20 Tahun 2001)
- Pegawai
negeri atau orang selain Pegawai Negeri yang diberi tugas menjalankan suatu
jabatan umum secara terus-menerus atau untuk sementara waktu dengan sengaja
menggelapkan menghancurkan,merusakkan,atau mebuat tidak dapat dipakai barang,akta,surat
atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat
yang berwenang yang dikuasai karena jabatannya atau membiarkan orang lain
menghilangkan,menghancurkan,merusakkan,attau membuat tidak dapat dipakai
barang, akta, surat atau daftar tersebut (Pasal 10 Undang-undang Nomor 20 tahun
2001)
- Pegawai negeri atau Penyelenggara Negara yang :
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu atau menerima pembayaran dengan potongan atau mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (pasal 12 e undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
Pada waktu menjalankan tugas meminta,menerima atau memotong pembayaran kepada pegawai Negeri atau Penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai hutang kepadanya.padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan mrupakan hutang (huruf f)
Pada waktu menjalankan tugas meminta atau menerima pekerjaan atau penyerahan barang seplah-olah merupakan hutang pada dirinya,padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan hutang (huruf g)
Pada waktu menjalankan tugas telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai,seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan,telah merugikan orang yang berhak,apadahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan,pengadaan,atau persewaan yang pada saat dilakukan perbuatan,untuk seluruhnya atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya (huruf i)
- Memberi
hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang
melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan itu (Pasal 13 Undang-undang Nomor
31 Tahun 1999).
Sedangkan
Korupsi Pasif adalah sebagai berikut :
- Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji karena
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya (pasal 5 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 tahun 2001)
- Hakim
atau advokat yang menerima pemberian atau janji untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau untuk mepengaruhi nasihat
atau pendapat yang diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili (Pasal 6 ayat (2) Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)
- Orang
yang menerima penyerahan bahan atau keparluan tentara nasional indonesia, atau
kepolisisan negara republik indonesia yang mebiarkan perbuatan curang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau c Undang-undang nomor 20 tahun
2001 (Pasal 7 ayat (2) Undang-undang nomor 20 tahun 2001.
- Pegawai
negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal
diketahui atau patut diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan utnuk mengerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya,atau sebaga akibat atau
disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya (pasal 12 huruf a dan huruf b
Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Hakim
yang enerima hadiah atau janji,padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah
atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk diadili (pasal 12 huruf c Undang-undang nomor 20
tahun 2001)
- Advokat
yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga,bahwa
hadiah atau janji itu diberikan untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat uang
diberikan berhubungan dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk
diadili (pasal 12 huruf d Undang-undang nomor 20 tahun 2001)
- Setiap
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya (pasal 12 Undang-undang nomor 20 tahun 2001).
BAB III
ANALISIS
Peraturan-peraturan tentang pemberantasan korupsi
silih berganti, selalu orang yang belakangan yang memperbaiki dan menambahkan,
namun korupsi dalam segala bentuknya dirasakan masih tetap mengganas. Istilah
korupsi sebagai istilah hukum dan memberi batasan pengertian korupsi adalah
perbuatan-perbuatan yang merugikan keuangan dan perekonomian Negara atau daerah
atau badan hukum lain yang mempergunakan modal dan/atau kelonggaran yang lain
dari masyarakat, sebagai bentuk khusus daripada perbuatan korupsi. Oleh karena
itu, Negara memandang bahwa perbuatan atau tindak pidana korupsi telah masuk
dan menjadi suatu perbuatan pidana korupsi yang selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara dan daerah, tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi masyarakat secara
luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Dalam melakukan analisis atas perbuatan korupsi dapat didasarkan pada 3 (tiga)
pendekatan berdasarkan alur proses korupsi yaitu :
- Pendekatan
pada posisi sebelum perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan
pada posisi perbuatan korupsi terjadi,
- Pendekatan
pada posisi setelah perbuatan korupsi terjadi.
Dari tiga
pendekatan ini dapat diklasifikasikan tiga strategi untuk mencegah dan
memberantas korupsi yang tepat yaitu:
1. Strategi Preventif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
dengan diarahkan pada hal-hal yang menjadi penyebab timbulnya korupsi. Setiap
penyebab yang terindikasi harus dibuat upaya preventifnya, sehingga dapat
meminimalkan penyebab korupsi. Disamping itu perlu dibuat upaya yang dapat
meminimalkan peluang untuk melakukan korupsi dan upaya ini melibatkan banyak
pihak dalam pelaksanaanya agar dapat berhasil dan mampu mencegah adanya
korupsi.
2. Strategi Deduktif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan agar apabila suatu perbuatan korupsi terlanjur
terjadi, maka perbuatan tersebut akan dapat diketahui dalam waktu yang
sesingkat-singkatnya dan seakurat-akuratnya, sehingga dapat ditindaklanjuti
dengan tepat. Dengan dasar pemikiran ini banyak sistem yang harus dibenahi,
sehingga sistem-sistem tersebut akan dapat berfungsi sebagai aturan yang cukup
tepat memberikan sinyal apabila terjadi suatu perbuatan korupsi. Hal ini sangat
membutuhkan adanya berbagai disiplin ilmu baik itu ilmu hukum, ekonomi maupun
ilmu politik dan sosial.
3. Strategi Represif.
Strategi ini harus dibuat dan dilaksanakan
terutama dengan diarahkan untuk memberikan sanksi hukum yang setimpal secara
cepat dan tepat kepada pihak-pihak yang terlibat dalam korupsi. Dengan dasar
pemikiran ini proses penanganan korupsi sejak dari tahap penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan sampai dengan peradilan perlu dikaji untuk dapat
disempurnakan di segala aspeknya, sehingga proses penanganan tersebut dapat
dilakukan secara cepat dan tepat. Namun implementasinyaharus dilakukan secara terintregasi.
Bagi pemerintah banyak pilihan yang dapat dilakukan sesuai dengan strategi yang
hendak dilaksanakan.
Adapula strategi pemberantasan korupsi secara
preventif maupun secara represif antara lain :
1.
Gerakan
“Masyarakat Anti Korupsi” yaitu pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini
perlu adanya tekanan kuat dari masyarakat luas dengan mengefektifkan gerakan
rakyat anti korupsi, LSM, ICW, Ulama NU dan Muhammadiyah ataupun ormas yang
lain perlu bekerjasama dalam upaya memberantas korupsi, serta kemungkinan
dibentuknya koalisi dari partai politik untuk melawan korupsi. Selama ini
pemberantasan korupsi hanya dijadikan sebagai bahan kampanye untuk mencari
dukungan saja tanpa ada realisasinya dari partai politik yang bersangkutan.
Gerakan rakyat ini diperlukan untuk menekan pemerintah dan sekaligus memberikan
dukungan moral agar pemerintah bangkit memberantas korupsi.
2.
Gerakan
“Pembersihan” yaitu menciptakan semua aparat hukum (Kepolisian, Kejaksaan,
Pengadilan) yang bersih, jujur, disiplin, dan bertanggungjawab serta memiliki
komitmen yang tinggi dan berani melakukan pemberantasan korupsi tanpa memandang
status sosial untuk menegakkan hukum dan keadilan. Hal ini dapat dilakukan
dengan membenahi sistem organisasi yang ada dengan menekankan prosedur structure
follows strategy yaitu dengan menggambar struktur organisasi yang
sudah ada terlebih dahulu kemudian menempatkan orang-orang sesuai posisinya
masing-masing dalam struktur organisasi tersebut.
3.
Gerakan
“Moral” yang secara terus menerus mensosialisasikan bahwa korupsi adalah
kejahatan besar bagi kemanusiaan yang melanggar harkat dan martabat manusia.
Melalui gerakan moral diharapkan tercipta kondisi lingkungan sosial masyarakat
yang sangat menolak, menentang, dan menghukum perbuatan korupsi dan akan menerima,
mendukung, dan menghargai perilaku anti korupsi. Langkah ini antara lain dapat
dilakukan melalui lembaga pendidikan, sehingga dapat terjangkau seluruh lapisan
masyarakat terutama generasi muda sebagai langlah yang efektif membangun
peradaban bangsa yang bersih dari moral korup.
4.
Gerakan
“Pengefektifan Birokrasi” yaitu dengan menyusutkan jumlah pegawai dalam
pemerintahan agar didapat hasil kerja yang optimal dengan jalan menempatkan
orang yang sesuai dengan kemampuan dan keahliannya. Dan apabila masih ada
pegawai yang melakukan korupsi, dilakukan tindakan tegas dan keras kepada
mereka yang telah terbukti bersalah dan bilamana perlu dihukum mati karena
korupsi adalah kejahatan terbesar bagi kemanusiaan dan siapa saja yang
melakukan korupsi berarti melanggar harkat dan martabat kehidupan
Negara mengeluarkan 3 produk hukum tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi yaitu: UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas
UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU No 28
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi dan Nepotisme.
Kesimpulan dari ketiga UU yang menyangkut
pemberantasan tindak pidana korupsi ini merupakan lex specialis
generalis. Materi substansi yang terkandung didalamnya antara lain :
1. Memperkaya
diri/orang lain secara melawan hokum (Pasal 2 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999).
Jadi, pelaku tindak pidana korupsi tersebut adalah setiap orang baik yang
berstatus PNS atau No-PNS serta korporasi yang dapat berbentuk badan hokum atau
perkumpulan.
2. Melakukan
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi.
3. Dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.
4. Adanya penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan atau sarana (Pasal 3 UU N0.31 Tahun 1999).
5. Menyuap PNS atau
Penyelenggara Negara (Pasal 5 UU No.20 Tahun 2001).
6. Perbuatan curang
(Pasal 7 UU No. 20 Tahun 2001).
7. Penggelapan
dalam jabatan (Pasal 6 UU No. 20 Tahun 2001).
Oleh karena itu, keberadaan produk regulasi yang
diberikan Negara untuk
menyelamatkan
keuangan Negara dari perilaku korupsi, sangatlah dituntut kepada para aparat
penegak hukum lainnya untuk semkasimal mungkin dapat memahami rumusan delik
yang terkait dan menyebar di setiap pasal yang ada agar tepat dalam menerapkan
kepada para pelaku. selain itu juga diperlukan
strategi pemberantasan korupsi yang sangat jitu dan tepat.
Penerapan sangsi normatif mengenai korupsi kepada para
pelakunya tidakakan bermanfaat dan bernilai penyesalan bilamana tidak diikutkan
juga beberapa strategi. Ada 3 hal yang harus dilakukan guna mengurangi sifat
dan perilaku masyarakat untuk korupsi, anatara lain;
(1) menaikkan gaji pegawai rendah dan menengah,
(2) menaikkan moral pegawai tinggi, serta
(3) legislasi pungutan liar menjadi pendapat resmi
atau legal.
BAB IV
PENUTUP
4.1.Kesimpulan
Korupsi adalah suatu tindak perdana yang memperkaya
diri yang secara langsung merugikan negara atau perekonomian negara. Jadi,
unsur dalam perbuatan korupsi meliputi dua aspek. Aspek yang memperkaya diri
dengan menggunakan kedudukannya dan aspek penggunaan uang Negara untuk
kepentingannya.Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin,kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan rendahnya pendidikan,
kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras, kelangkaan lingkungan yang subur
untuk perilaku korupsi, rendahnya sumber daya manusia, serta struktur
ekonomi.Korupsi dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, yaitu bentuk,
sifat,dan tujuan.Dampak korupsi dapat terjadi di berbagai bidang diantaranya,
bidang demokrasi, ekonomi, dan kesejahteraan negara.
4.2. Saran
Kita harus
lebih meningkatkan pengawasan dalam hal pengelolaan keuangan dan kalau
menemukan adanya indikasi tindak pidana korupsi kita harus melaporkannya kepada
pihak yang berwajib. Juga pendidikan tentang korupsi harus diajarkan sejak dini
agar tercipta individu yang berkarakter, berakhlak dan cerdas.
DAFTAR PUSTAKA
Muzadi, H. 2004. MENUJU INDONESIA BARU, Strategi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Malang : Bayumedia Publishing.
Lamintang, PAF dan Samosir, Djisman. 1985. Hukum
Pidana Indonesia .Bandung : Penerbit Sinar Baru.
Saleh, Wantjik. 1978. Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia . Jakarta : GhaliaIndonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar