Kamis, 26 Maret 2015

Makalah Perceraian

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang
Perceraian merupakan suatu proses dimana sebelumnya pasangan tersebut sudah (pasti) berusaha untuk mempertahankannya namun mungkin jalan terbaiknya adalah suatu "perceraian". Perlu diketahui bahwa proses perceraian di Indonesia hanyadapat dilakukan di Pengadilan Agama (khusus untuk beragama Islam) atau di Pengadilan Negeri (khusus untuk yang non-Islam). Pengadilan Agama untuk yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri untuk yang beragama non-Muslim. Indonesia merupakan negara yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, dimana pernikahan dianggap sebagai sesuatu yang sakral. Namun demikian, angka perceraian kerap melonjak tinggi di beberapa Pengadilan Agama di Indonesia.
1.2 Rumusan masalah
Apa yang dimaksud dengan perceraian?
Menganalisis putusan perceraian
1.3 Tujuan
Adapun tujuan kami membuat makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas mata kuliah hukum keluarga
2. Mengetahui apa itu perceraian
3. Mengetahui faktor faktor apa saja yang menyebabkan perceraian 
1.4 Manfaat
Manfaat dari penulisan makalah ini bagipenulis  adalah, kami dapat mengetahui tentang perceraian.










BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Perceraian
2.1 Pengertian Cerai Atau Talak
Talak diambil dari kata itlak, artinya melepaskan, atau meninggalkan. Dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan, atau rusaknya hubungan pernikahan.
Mengutip pendapat yang dikemukan Abdurrahman al-jaziri bahwa makna talak secara bahasa adalah melepaskan ikatan atau mengurangi pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata tertentu. Sedangakan secara istilah al-jaziri mengatakan :
ازالة النّكاح رفع العقد بحيث لا تحلّ له الزّوجة بعد ذلك.
Sedangakan Sayyid Sabiq mendefinisikan talak dengan sebuah upaya untuk melepaskan ikatan perkawinan dan selanjutnya mengakhiri hubungan perkawinan itu sendiri. Dari definisi diatas jelaslah bahwa telak merupakan sebuah lembagai yang digunakan untuk melepaskan sebuah ikatan perkawinan. Disamping itu lembaga talak dalam Islam juga menunjukan bahwa konsep perkawinan dalam Islam bukanlah sebuah sakramen seperti yang terdapat dalam agama Hindu dan Budha, yakni sebuah perkawinan tidak bisa diputuskan. Talak dalam Islam merupakan alternatif terakhir sebagai upaya solutif terhadap persolan rumah tangga sehingga keberadaannya tidak lepas dari persoalan-persolan yang melatar belakanginya. Seperti percekcokan yang terjadi terus menerus, adanya nusyuz baiak yang dilakukan oleh isteri maupun suami Adapun beberapa unsur atau rukun yang harus dipenuhi dalam talak sebagaimana dikemukan Abdurrahman al Jaziri diantaranya, adanya suami dan isteri, adanya sighat talak, dan adanya niat atau maksud untuk menceraikannya.

2.2 jenis-jenis perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
-          Cerai hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan mengenai masalah hidup. Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan perkawinan mereka.
-          Cerai mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan hidup yang dicintai.
Benaim (dalam Ulfasari, 2006) mengatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan masalah tersebut dan memilih untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih kompleks.

2.3 faktor Penyebab Perceraian
·      Kesetian dan Kepercayaan
Didalam hal ini yang sering kali menjadi pasangan rumah tangga bercerai, dalam hal ini baik pria ataupun wanita sering kali mengabaikan peranan kesetiaan dan kepercayaan yang diberikan pada tiap pasangan, hingga timbul sebuah perselingkuhan.
·      Seks
Didalam melakukan hubungan seks dengan pasangan kerap kali pasangan mengalami tidak puas dalam bersetubuh dengan pasangannya, sehingga menimbulkan kejenuhan tiap melakukan hal tersebut, dan tentunya anda harus mensiasati bagaimana pasangan anda mendapatkan kepuasan setiap melakukan hubungan seks.
·      Ekonomi
Tingkat kebutuhan ekonomi di jaman sekarang ini memaksa kedua pasangan harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga, sehingga seringkali perbedaan dalam pendapatan atau gaji membuat tiap pasangan berselisih, terlebih apabila sang suami yang tidak memiliki pekerjaan.
·      Pernikahan Tidak Dilandasi rasa Cinta
Untuk kasus yang satu ini biasanya terjadi karna faktor tuntutan orang tua yang mengharuskan anaknya menikah dengan pasangan yang sudah ditentukan, sehingga setelah menjalani bahtera rumah tangga sering kali pasangan tersebut tidak mengalami kecocokan.

2.4 alasan Perceraian Menurut Undang-Undang
Mengenai alasan perceraian, UU perkawinan hanya mengaturnya secara umum yaitu bahwa untuk melakukan perceraian harus cukup ada alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri (pasal 34 ayat 2 UU perkawinan). Di dalam PP No.9 tahun 1975 pasal 14 dinyataka hal-hal yang menyebabkan terjadinya karena alasan-alasan sebagai berikut :
a)         Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sulit disembuhkan.
b)         Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-berturut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
c)         Salah satu pihak mendapatkan hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d)        Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain.
e)         Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f)          Antara suami istri terus menerus terjadi perselisihan dan  pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.

Dilihat dari pasal 116, ada tambahan dua sebab perceraian dibanding dengan pasal 14 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan murtad. Tambahan ini relative penting karena sebelumnya tidak ada.
Alasan-alasan perceraian diatas secara limitatif ( terbatas pada apa yang disebutkan UU saja ) dan disamping itu harus ada alasan seperti yang disebutkan dalam pasal 39 ayat 2 UUP, maka jelas kepada kita bahwa UU sangat mempersulit terjadinya perceraian. Apalagi prosedur perceraian itu, haruslah melalui pengadilan yang berwenang dan sebelum hakim memutuskan perkara perceraian itu dia terlebih dahulu mengadakan perbagai usaha perdamaian diantara suami istri itu, baik dilakukan sendiri maupun bantuan pihak lain.
Dengan ketentuan tersebut diatas, maka perceraian tidak dapat lagi dilakukan sewenang-wenang oleh salah satu pihak suami-istri dan apabila mereka akan bercerai terlebih dahulu harus diuji dan diperiksa, apakah perceraian tersebut dapat dibenarkan oleh UU atau tidak.
Ketentuan ini merupakan sebagian dari tuntutan kaum wanita Indonesia, yang melihat praktek-praktek perceraian sebelum adanya UU perkawinan. Sedangkan dalam penentuan dalam proses perceraian ini adalah wewenang dari instansi peradilan. Oleh karena itu, diharapkan agar hakim dapat memikul tanggung jawab yang besar dengan kesadaran tinggi akan jiwa dan tujuan yang diatur dalam UU perkawinan serta harapan masyarakat pada umumnya.
BAB III
ANALISIS PUTUSAN PERCERAIAN
3.1 Landasan Teori
          Perkawinan harus dipelihara dengan baik sehingga bisa abadi dan apa yang menjadi tujuan perkawinan dalam Islam yakni terwujudnya keluarga sejahtera. Namun sering kali apa yang menjadi tujuan perkawinan kandas di perjalanan dan harus putus di tengah jalan. Sebenarnya putusnya perkawinan merupakan hal yang wajar, karena makna dasar sebuah akad nikah adalah ikatan atau dapat juga dikatakan perkawinan pada dasarnya adalah kontrak, yang konsekuensinya dapat lepas yang kemudian dapat disebut talak.
Perspektif Fikih
            Menurut istilah talak adalah melepaskan ikatan (hall al-qaid) atau bisa juga disebut pelepasan ikatan dengan menggunakan kata-kata yang telah ditentukan. Dalam kitab Kifarat al-Akhyar yang menjelaskan talak sebagai sebuah nama untuk melepaskan ikatan nikah dan talak adalah lafaz Jahiliyyah yang setelah Islam datang menetapkan lafaz itu sebagai kata untuk melepaskan nikah.
            Ikatan perkawinan dapat putus dan tata caranya telah diatur baik dalam fikih maupun dalam UUP. Walaupun perkawinan merupakan sebuah ikatan suci namun tidak boleh dipandang mutlak atau tidak boleh dianggap tidak dapat putus.
            Hadits Nabi yang popular berkenaan dengan talak adalah “Inna abghad al-mubahat ‘inda Allah al-talak” sesungguhnya perbuatan mubah tapi dibenci Allah adalah talak. Dengan memahami hadits tersebut, sebenarnya Islam mendorong terwujudnya perkawinan yang bahagia dan kekal dan menghindarkan terjadinya perceraian. Yang pada prinsipnya Islam tidak memberi peluang untuk terjadinya perceraian kecuali ada hal-hal yang darurat.
            Setidaknya ada 4 kemungkinan yang dapat terjadi dalam kehidupan rumah tangga yang dapat memicu terjadinya perceraian, yaitu:
1.Terjadinya nusyuz dari pihak istri, yaitu kedurhakaan yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya. Berangkat dari sutar an-Nisaa’ ayat 34 memberikan opsi sebagai berikut:
· Istri diberi nasihat dengan cara yang ma’ruf agar ia segera sadar terhadap kekeliruan yang diperbuatnya.
· Pisah ranjang, sebagai hukuman psikologis bagi istri dan dalam kesendiriannya tersebut ia dapat melakukan koreksi diri terhadap kekeliruannya.
· Memberi hukuman fisik dengan cara memukulnya, tidak boleh memukul bagian yang membahayakan si istri.
2. Nusyuz suami terhadap istri terjadi ketika suami melalaikan kewajibannya terhadap istri, baik lahir maupun batin. Berkenaan dengan tugas suami berangkat dari hadits Rasulullah SAW yang intinya adalah suami harus memperlakukan istrinya dengan cara yang baik dan dilarang menyakiti istrinya baik lahir maupun batin, fisik dan mental. Jika suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surat an-Nisaa’ ayat 128 menganjurkan perdamaian di mana istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, yang bertujuan agar perceraian tidak terjadi.
3. Terjadinya syiqaq (percekcokan). Alasan ini merupakan alasan yang sering menyebabkan terjadinya perceraian. Dalam UU No.7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah perselisihan yang tajam dan terus-menerus antara suami istri. Mengenai masalah ini al-Qur’an dalam surat an-Nisaa’ ayat 35 dijelaskan bahwa aturan Islam dalam menangani problema kericuhan dalam rumah tangga, dipilihnya hakam (arbitrator) dari masing-masing pihak yang lebih mengetahui karakter, sifat keluarga mereka sendiri untuk mempermudah mendamaikan suami istri yang bertengkar.
4. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina (fahisyah), yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya. Cara menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang didakwakan, dengan cara li’an.
Apabila berbagai cara yang telah ditempuh tidak membawa hasil, maka perceraian merupakan jalan yang terbaik bagi keduanya untuk kembali melanjutkan kehidupan masing-masing.
Jika diamati aturan-aturan fikih berkenaan dengan talak, terkesan seolah-olah fikih memberi aturan yang sangat longgar bahkan dalam tingkatan tertentu memberikan kekuasaan yang terlalu besar pada laki-laki, seolah-olah talak menjadi hak prerogatif laki-laki sehingga bias saja seorang suami bertindak otoriter.

Perspektif UU No. 1 Tahun 1974
            Sebagaimana yang disebut dalam pasal UUP dijelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia, kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa yang dalam bahasa KHI disebut dengan mistaqan ghaliza (ikatan yang suci), namun dalam realitanya seringkali perkawinan tersebut kandas di tengah jalan yang mengakibatkan putusnya perkawinan baik karena sebab kematian, perceraian ataupun karena putusan pengadilan berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Undang-undang.
Perspektif KHI
            KHI juga tampaknya mengikuti alur yang digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang menunjukkan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah Putusnya Perkawinan pada Bab XVI. Pasal 113 menyatakan perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.
            Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129,130, dan 131”.
            KHI juga memuat aturan-aturan yang berkenaan dengan pembagian talak, yaitu talak raj’I, talak ba’in sughra, dan ba’in. Permohonan cerai talak dengan alasan terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran. Berkenaan dengan alasan ini KHI dalam pasal 116 huruf f juga menjelaskan jika antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Selain itu permohonan cerai talak juga dapat dilakukan dengan alasan syiqaq, yang dalam UU No. 7 tahun 1989 dijelaskan gugatan perceraian yang didasarkan atas alasan syiqaq untuk mendapatkan putusan perceraian harus mendengarkan keterangan saksi-saksi yang berasal dari keluarga atau dari orang-orang yang dekat dengan suami istri.
Dalam pasal 115 KHI dijelaskan perceraian hanya dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perspektif PP No. 9 Tahun 1975
            Hal-hal yang menyebabkan terjadinya perceraian dalam PP No. 9 Tahun 1975 adalah:
·      Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
·      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain yang di luar kemampuan;
·      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain;
·      Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami istri;
·      Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
·      Suami melanggar taklik talak dan murtad.

3.2 Studi kasus dan Analisis
            Tora Sudiro digugat cerai istrinya yang bernama Anggi. Penyebab Anggi menggugat cerai Tora ialah karena Tora memiliki wanita idaman lain. Di persidangan terungkap 3 hal pemicu cerai yaitu adalah perselisihan, perbedaan prinsip, dan ketidakcocokan. Dan Tora sudiro menerima semua dalil gugatan itu, ungkap pengacara Tora, Purnama Wirya, di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat.
            Setelah itu Ketua Majelis Hakim Drs. Yasardin, S.H, mengabulkan gugatan cerai Anggraini Kadiman pada persidangan  putusan yang dilangsungkan di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat, Rabu (7/1) siang.pengadilan depok mengabulkan gugatan dari Anggi karena antara pihak anggi dan Tora tidak lagi ingin berdamai.
ANALISIS
Setelah memaparkan perspektif Fikih, UUP, KHI, dan PP No. 9 tahun 1975 kasus perceraian yang menimpa pasangan Tora Sudiro dan istrinya Anggi saya lihat dari sudut pandang seorang praktisi hokum. Salah satu alasan Anggi menggugat cerai Tora Sudiro adalah karena seringnya terjadi perselisihan di antara Anggi dan Tora. Dalam Pasal 116 huruf f KHI dinyatakan bahwa jika “antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”, selain itu dalam PP No. 9 tahun 1975 pasal 19 huruf f juga dinyatakan pernyataan yang sama persis dengan yang dinyatakan dalam KHI, karena landasan itu salah satu pihak boleh mengajukan Permohonan Cerai Talak ke Pengadilan Agama. Karena cerai dinyatakan sah dan mempunyai kekuatan hukum di Indonesia ketika dinyatakan dalam Sidang Pengadilan Agama sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 115 KHI “perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama setelah Pengadilan Agama tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”, hal ini juga dinyatakan dalam pasal 39 UUP.
Perceraian adalah jalan terakhir yang ditempuh oleh pengadilan setelah kedua belah pihak diberi waktu untuk mediasi tapi keduanya tetap bersikeras untuk cerai. Seperti halnya Tora dan Anggi mereka berdua menolak untuk melakukan mediasi dan sepakat untuk meneruskan perceraian. 
Oleh karena itu putusan pengadilan depok yang mengabulkan gugatan dari anggi  menurut penulis sudah sangat benar dan tidak ada salahnya lagi.






















BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Perceraian hukumnya halal, tapi sangat dibenci oleh Allah. Oleh karena itu jangan menjadikan perceraian sebuah jalan keluar untuk sebuah masalah dalam keluarga. Karena bukan hanya suami dan istri yang menderita kerugian. Tetapi juga anak hasil pernikahan tersebut.

            4.2 Saran
Bagi pasangan suami-isteri hendaknya saling memahami, saling terbuka dalam rumah tangga untuk memecahkan masalah yang dihadapi, sehingga tidak terjadi disharmonis dalam keluarga. Langkah yang ditempuh adalah dengan cara mengemukakan permasalahan yang ada, kemudian permasalahan tersebut dibicarakan bersama dan dicari jalan keluarnya bersama-sama, salah satunya adalah harus ada yang mengalah dan saling menyadari satu sama lain, sehingga perselisihan cepat terselesaikan dengan damai
                 Bagi masyarakat hendaknya dilakukan penyuluhan yang menyangakut hukum perceraian dengan segala aspeknya, guna merangsang kokohnya ikatan perkawinandan mengurangi angka perceraian.










 




Tidak ada komentar:

Posting Komentar