BAB I
PENDAHULUAN
Pembangunan Nasional yang dilaksanakan
pada masa sekarang dilakukan berdasarkan demokrasi ekonomi yang mandiri dan
handal guna mewujudkan terciptanya masyarakat adil dan makmur secara meluas, selaras
adil dan merata. Pembangunan ekonomi yang diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan masyarakat serta mengatasi ketimpangan ekonomi serta kesenjangan
sosial guna mencapai kesejahteraan manusia.
Untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
adil dan makmur berdasarkan asas kekeluargaan sebagaimana dimaksud dalam UUD
1945. Kesinambungan pelaksanaan pembangunan nasional perlu senantiasa
dipelihara dengan baik. Guna mencapai tujuan tersebut maka pelaksanaan
pembangunan ekonomi perlu lebih memperhatikan keserasian dan kesinambungan
aspek-aspek pemerataan dan pertumbuhan.
Demikian kenyataannya, manusia memerlukan
alat (sarana) bagi pemenuhan kebutuhan hidupnya baik yang berupa kebutuhan
primer maupun sekunder. Dimana alat-alat untuk memenuhi kebutuhan itu, manusia
tidak mesti mampu untuk membuatnya sendiri, tetapi terkadang memperolehnya dari
orang lain yang memang pekerjaannya berkaitan dengan barang-barang yang
diperlukan. Di samping itu manusia dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya
kadang kala mengalami keterbatasan dana sehingga sudah sewajarnya manusia untuk
saling membutuhkan dalam memenuhi kebutuhan yang beraneka ragam guna
melanjutkan kehidupannya.
Dengan semakin berkembangnya kegiatan
ekonomi maka semakin terasa perlunya sumber-sumber untuk membiayai kegiatan
usaha. Hubungan antara pertumbuhan kegiatan ekonomi ataupun pertumbuhan
kegiatan usaha erat kaitannya dengan pembiayaan. Hal ini disebabkan karena
dunia perbankan ataupun lembaga keuangan lainnya merupakan mitra usaha bagi
perusahaan-perusahaan jasa non keuangan lainnya.[1]
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan menyebutkan:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf
hidup rakyat banyak”.[2]
Persaingan usaha antar bank yang semakin
tajam dewasa ini telah mendorong munculnya berbagai jenis produk dan sistem
usaha dalam berbagai keunggulan kompetitif. Dalam situasi seperti ini Bank Umum
(konvensional) akan menghadapi persaingan baru dengan kehadiran lembaga
keuangan ataupun bank non-konvensional. Fenomena ini ditandai dengan pertumbuhan
lembaga keuangan dan bank muamalat dengan sistem syariah. Suatu hal yang sangat
menarik, yang membedakan antara manajemen bank muamalat dengan bank umum adalah
terletak pada pemberian balas jasa, baik yang diterima oleh bank maupun para
investor. Jika dilihat kenyataan di masyarakat, masih banyak terjadi kesimpang
siuran mengenai pemahaman tentang pengertian Lembaga Keuangan dengan Bank
Muamalat, walaupun sesungguhnya banyak persamaan diantara kedua jenis lembaga
tersebut. Hal ini diperkuat dengan Peratutan Pemerintah No. 70 Tahun 1992,
tentang perubahan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB) menjadi Bank Umum. Bank
Umum yang melakukan kegiatan usaha secara konvensional, menurut UU No. 7 Tahun
1992, dapat juga melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Di
Indonesia, keberadaan Bank Muamalat sudah ada sejak pertengahan tahun 1992,
tepatnya setelah disyahkannya UU No. 7 Tahun 1992 sebagai dasar hukum, yang
kemudian dirubah menjadi UU No. 10 Tahun 1998.
Pada dasarnya Lembaga Keuangan Syariah atau
Bank Muamalat merupakan badan usaha yang bergerak dalam bidang keuangan, untuk
memobilisasi dana masyarakat dan memberikan pelayanan jasa perbankan lainnya
berdasarkan prinsip-prinsip syariah islam yang bersumber pada Al Qur’an dan Al
Hadist. Suatu hal yang membedakan antara Bank Islam dengan Bank Konvensional
adalah penerapan sistem bagi hasil yang menggantikan sistem bunga. Sistem ini
merupakan terobosan terbaru dalam dunia perbankan, bagi mereka yang tidak
menginginkan adanya unsur riba pada bunga. Disisi lain, kombinasi antara
manajemen Bank Umum dengan Sistem Keuangan Syariah, dapat diterapkan sebagai
sarana untuk menyeimbangkan antara dua kepentingan (lenders dan borrowers).[3]
Hukum jaminan yang tergolong dalam bidang
hukum ekonomi (the economic law),[4] mempunyai
fungsi sebagai penunjang kegiatan perekonomian dan kegiatan pembangunan pada
umumnya. Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat kita
temui landasannya pada ketentuan pasal 1233 kitab Undang-Undang Hukum Perdata,[5] yang
menyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik
karena perjanjian baik karena undang-undang”[6]
Ada beberapa jaminan kebendaan yang
dikenal dalam hukum. Pertama adalah dalam bentuk gadai, kedua adalah dalam
bentuk hipotek yang telah dirubah kedalam hak tanggungan, ketiga adalah hak
tanggungan yang diatur dalam undang-undang No 4 tahun 1996, yang terakhir
adalah jaminan fidusia, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia (yang selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Jaminan
Fidusia).[7]
Jaminan fidusia sendiri sebagaimana yang
dipaparkan para ahli adalah perluasan akibat banyak kekurangannya lembaga gadai
(pand) dalam memenuhi kebutuhan masyarakat dan tidak dapat mengikuti
perkembangan di masyarakat.[8]
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Jaminan Fidusia, eksistensi fidusia sebagai pranata jaminan diakui berdasarkan
yurisprudensi. Konstruksi fidusia berdasarkan yurisprudensi yang pernah ada
adalah penyerahan hak milik atas kepercayaan, atas benda atau barang-barang
bergerak (milik debitor) kepada kreditor dengan penguasaan fisik atas
barang-barang itu tetap pada debitor.[9]
Sebelum berlakunya Undang-Undang Jaminan
Fidusia, benda benda yang dapat menjadi objek jaminan fidusia berupa benda
bergerak yang merupakan benda dalam persediaan (investori), benda dagangan,
piutang, peralatan mesin, dan kendaraan bermotor.[10] Akan
tetapi dalam perkembangan selanjutnya kebendaan yang menjadi objek jaminan
fidusia mulai meliputi juga kebendaan bergerak yang tak berwujud, maupun benda
tak bergerak.[11]
BAB II
PERJANJIAN KREDIT PADA
UMUMNYA
Istilah jaminan kredit mempunyai 2 suku
kata yaitu, perjanjian dan kredit. Istilah perjanjian menurut ketentuan Pasal
1313 kitab Undang-Undang Hukum Perdata Perjanjian didefinisikan sebagai:
“Perjanjian adalah suatu perbuatan hukum
dengan mana satu orang atau lebih saling mengikat dirinya terhadap satu orang
lain atau lebih”[12]
Jika diperhatikan dengan seksama,
rumusan yang diberikan dalam pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
tersebut ternyata menegaskan kembali bahwa perjanjian mengakibatkan seseorang mengikatkan
dirinya kepada orang lain. Ini berarti dari suatu perjanjian lahirlah suatu
kewajiban atau prestasi dari satu atau lebih orang (pihak) kepada satu atau
lebih orang (pihak) lainnya, yang berhak atas prestasi tersebut.[13]
Dalam kamus besar bahasa Indonesia,
perjanjian adalah persetujuan (tertulis atau dengan lisan) yang dibuat dua
pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam
persetujuan itu.[14]
Sedangkan Pengertian kredit pada
Undang-Undang No 10 tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut dengan
Undang-Undang Perbankan) mengalami sedikit perubahan[15]selengkapnya
adalah sebagai berikut.[16] Pasal
1 angka 11 Undang-Undang Perbankan menyebutkan definisi dari kredit yaitu:
Kredit yang diberikan oleh bank adalah
penyediaan dana atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam anatara bank dengan pihak lain
yang mewajibkan pihak pinjam meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka
waktu tertentu dengan pemberian bunga.[17]
Menurut OP. Simongkir yang dikutip oleh
budi untung dan dikutip pula oleh Zulfi Chairi menyebutkan pengertian kredit
yaitu: pemberian prestasi (misalnya uang, barang) dengan balas prestasi (kontra
prestasi) yang akan terjadi pada waktu yang akan datang.[18]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, kredit adalah harga atau nilai untuk suatu tindakan (yang baik).[19]
Dari berbagai definisi masalah kredit yang
telah dikemukakan di atas maka menurut Drs. Thomas Suyanto dkk dalam bukunya
dapat disimpulkan adanya unsur-unsur kredit.[20]
a. Kepercayaan, yaitu
keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baika dalam
bentuk uang, barang, atau jasa, akan benar-benar diterimanya kembali dalam
jangka waktu tertentu di masa yang akan datang;
b. Tenggang waktu, yaitu
suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi
yang akan diterima pada masa yang akan dating. Dalam unsur waktu ini,
terkandung pengertian nilai agio dari uang, yaitu uang yang ada sekarang lebih
tinggi dari uang yang akan diterima pada masa yang akan datang;
c. Degree of risk, yaitu
tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang
memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima
kemudian hari. Semakin lama kredit diberikan semakin tinggi pula tingkat
resikonya, Prestasi, atau objek kredit itu tidak saja diberikan dalam bentuk
uang, tetapi juga dapat bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi
modern sekarang ini didasarkan pada uang, maka transaksi-transaksi kredit yang
menyangkut uang yang sering kita jumpai dalam praktek perkreditan.
Sedangkan jika kita gabungkan antara
kata perjanjian dan kredit, maka Perjanjian kredit adalah perjanjian
pendahuluan dari perjanjian pinjam uang pada hakekatnya dapat digolongkan ke
dalam dua kelompok ajaran:
a. Yang mengemukakan bahwa
perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang itu merupakan “satu” perjanjian,
sifatnya “konsensuil”.
b. Yang mengemukakan bahwa
perjanjian kredit dan perjanjian pinjam uang merupakan dua buah perjanjian yang
masing-masing bersifat “konsensuil” dan “riil”.
Ke dalam ajaran pertama mempunyai pengikut
yaitu Winds Cheid dan Goudiket. Winds Cheid seperti dikutip oleh Maria Kaban
mengemukakan bahwa “perjanjian kredit adalah perjanjian dengan syarat tangguh
yang pemenuhannya tergantung pada peminjam yakni kalau penerima kredit menerima
dan mengambil pinjaman itu.[21]Hal
ini sesuai dengan pasal 1253 KUH Perdata yang menyatakan:
Suatu ikatan adalah bersyarat manakala ia
digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang masih belum
tentu akan terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya
peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadi atau
tidak terjadinya peristiwa tersebut.[22]
Sedangkan Goudiket seperti yang dikutip
Maria Kaban mengemukakan pula bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam
uang yang bersifat konsensuil dan obligatoia. Perjanjian ini mempunyai kekuatan
mengikat sesuai dengan Pasal 1338 ayat (2) KUH Perdata yang menyatakan bahwa:
“Perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-alasanyang oleh undang-undang
dinyatakan untuk itu”.[23]
Beliau menolak sifat riil perjanjian pinjam
uang kalau seseorang mengikatkan diri untuk menyerahkan uang kepada pihak lain,
maka perlu adanya suatu perjanjian untuk mencapai tujuan perjanjian itu.
Penyerahan uang adalah “pelaksanaan dari
perjanjian itu bukan merupakan perjanjian tersendiri, terlepas dari perjanjian
kredit. Perjanjian kredit menurut Goudiket seperti dikutip Maia Kabanadalah
penawaran yang mengikat pemberi kredit untuk mengadakan suatu perjanjian timbal
balik, sifat timbal balik perjanjian ini terjadi pada saat penerima kredit menyatakan
kesediaannya menerima pinjaman itu.
Menurut Prof. Dr. Mariam Darus perjanjian
kredit bank adalah “perjanjian pendahuluan yang bersifat konsesuil sedangkan
penyerahan uangnya bersifat riil.[24] Perjanjian
pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima
pinjaman. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoia yang dikuasai oleh
Undang-Undang Pokok Perbankan dan bagian umum KUH Perdata.
“Penyerahan uangnya” sendiri, adalah
bersifat riil. Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan
yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak. Di dalam
praktek, istilah kredit juga dipergunakan untuk penyerahan uang, sehingga jika
kita mempergunakan kata kredit, istilah ini meliputi baik perjanjian kreditnya
yang bersifat konsensuil maupun penyerahan uangnya yang bersifat riil.[25]
Pendapat yang lain dikemukakan Marhainis
Abdul Hay seperti yang dikutip oleh Rachmadi Usman:
“Perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam dan
dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Hal yang sama dikemukakan pula oleh Mariam Darus Badrulzaman: “Dari rumusan
yang terdapat di dalam Undang-Undang Perbankan mengenai perjanjian kredit
adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam kitab Undang-Undang Hukum Perdata
pasal 1754. perjanjian pinjam-meminjam ini juga mengandung makna yang luas yaitu
objeknya adalah benda yang menghabisi jika verbruikleningtermasuk
didalamnya uang. Berdasarkan perjanjian pinjam-meminjam ini, pihak penerima
pinjaman menjadi pemilik yang dipinjam dan kemudian harus dikembalikan dengan
jenis yang sama kepada pihak yang meminjamkan. Karenanya perjanjian kredit ini
bersifat riil, yaitu bahwa terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh
“penyerahan” uang oleh bank kepada nasabah”.[26]
Perjanjian Kredit dalam Hukum Perdata
Indonesia merupakan salah satu bentuk dari bentuk perjanjian pinjam meminjam
yang diatur dalam Buku Ketiga KUH Perdata. Dalam bentuk apapun juga pemberian
kredit itu diadakan pada hakikatnya merupakan salah sayu bentuk perjanjian
pinjam meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan 1769 KUH
Perdata.[27]
Dalam perjanjian kredit, maka pihak yang
memberikan uangnya untuk dipinjam pihak lain tentu tidak mau menanggung resiko
hilangnya uang miliknya. Oleh karena itu, untuk mencegah hal tersebut atau
untuk dapat menekan sedemikian rupa kerugian yang mungkin akan dideritanya,
diadakan jaminan untuk perjanjian hutang/kredit yang dibuat oleh mereka, yaitu
dengan menyerahkan barang milik debitur kepada kreditur. Hal ini sesuai dengan
pasal 1131 BW yang menyatakan:
“Untuk mempertimbangkan apakah seseorang
telah dirugikan, maka semua barang harus ditaksir menurut harganya pada waktu
dilakukan pemisahan”.[28]
BAB III
JAMINAN FIDUSIA
MENURUT
UNDANG-UNDANG NOMOR 42
TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA
Istilah Jaminan Fidusia terdiri dari 2
kata yaitu: Jaminan dan fidusia. Kata jaminan berarti tanggungan atas pinjaman
yang diterima.[29]
Kata fidusia, dalam kamus manajemen
disebutkan bahwa fidusia (fiduciare) merupakan suatu hak, tanggungan atas
barang bergerak, barang jaminan dikuasai oleh debitur tetapi kepemilikannya
diserahkan kepada kreditur.[30]
Dalam kamus Enlgish-Indonesia, fidusia
berasal; dari kata fiduciary yang mengandung tiga arti: 1. Yang berkenaan
dengan wali atau orang kepercayaan, hubungan perwalian; 2. Dikuasai/dipegang
oleh wali; 3. Tergantung pada kesepakatan bersama.[31]
Menurut istilah dalam hukum agraria,
fidusia berarti hak jaminan yang berupa penyerahan hak atas benda berdasarkan
kepercayaan yang disepakati sebagai jaminan bagi pelunasan piutang kreditur.[32]Sedangkan
dalam istilah hukum perdata, menurut bahasa fidusia berarti kepercayaan.
Sedangkan menurut istilah fidusia adalah barang yang oleh debitur dipercayakan
kepada kreditur sebagai jaminan utang.[33]
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia sendiri, fidusia diartikan sebagai pendelegasian wewenang pengolahan
uang dari pemilik uang kepada pihak yang didelegasi.[34]
Dari berbagai pemaparan di atas mengenai
definisi fidusia, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa fidusia merupakan
perjanjian pengalihan hak penguasaan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan
ketentuan barang yang dijaminkan tetap dalam pengelolaan si pemilik (debitur),
akan tetapi hak penguasaannya diberikan kepada si kreditur.
Apabila debitur pemberi fidusia ingkar
janji, kreditur penerima fidusia tidak dapat memiliki benda jaminan fidusia
melainkan benda jaminan itu dijual untuk mengambil pelunasan piutangnya sesuai
dengan hak prefensi yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur. Selain
itu bahwa fidusia merupakan perjanjian yang memiliki sifat assessor (pelengkap
dari perjanjian pokok) dan berkarakter kebendaan.[35]
Untuk lebih memperluas mengenai
pengertian fidusia, Dr. A. Hamzah dan Senjung Manulang seperti yang dikutip
oleh Salim HS mengartikan fidusia adalah suatu cara pengoperan hak milik dari
pemiliknya (debitur), berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian utang-piutang)
kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara yuridise
levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja
(sebagai jaminan utang debitur), sedangkan barangnya tetap dikuasai oleh
debitur[36].
Dari berbagai definisi tentang fidusia yang telah disebutkan di atas, maka
fidusia mengandung unsur-unsur sebgai berikut:
a. Adanya pengalihan/pengoperan
b. Pengalihan dari pemiliknya kepada
kreditur
c. Adanya perjanjian pokok
d. Penyerahan berdasarkan kepercayaan
Dengan demikian dapat disimpulkan dalam
perjanjian jaminan fidusia, konstruksi yang terjadi adalah pemberi jaminan
fidusia bertindak sebagai pemilik manfaat, sedangkan penerima fidusia bertindak
sebagai pemilik yuridis.[37]
Sedangkan jika kita gabungkan antara
kata jaminan dan fidusia, maka jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan bangunan atau rumah
diatas tanah orang lain baik yang terdaftar maupun yang tidak terdaftar, yang
tidak dapat dibebani hak tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi
fidusia sebagai agunan pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.[38]
Sedangkan pengertian jaminan fidusia
dalam pasal 1 angka 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia yaitu, bahwa jaminan
fidusia adalah hak jaminan atas benda begerak baik yang berwujud ataupun yang
tidak berwujud dan benda yang tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak
dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4
tahun 1996 tentang hak tanggungan yang tetap berada dalam penguasa pemberi
fidusia sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan
yang diutamakan kepada penerima fidusia terhada kreditur lainnya.[39] Dari
pengertian-pengertian diatas mengenai jaminan fidusia, meliputi unsur-unsur
berikut ini:
a. Adanya hak jaminan.
b. Adanya objek, yaitu
benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud maupun dan benda
tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan.
c. Benda yang menjadi
objek jaminan tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia.
Berdasarkan penjelasan di atas mengenai
fidusia dan jaminan fidusia, jelas sekali bahwa fidusia dibedakan dari jaminan
fidusia, dimana fidusia merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan
sedangkan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia[41].
BAB IV
PERJANJIAN KREDIT
DENGAN JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG
JAMINAN FIDUSIA
Dalam rangka untuk menjalankan fungsi perbankan
sebagai penyalur dana kepada masyarakat, bank melakukan secara aktif usahanya
yakni memberikan kredit kepada pihak nasabah debitur. Bank memberikan kredit
didasarkan prinsip kehati-hatian. Prinsip ini terlihat dalam system penilaian
yang dilakukan bank yaitu prinsip keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan
nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya. System penilaian dengan melakukan
analisis terhadap “keyakinan”[42] tersebut
hanya merupakan suatu paradigma bank dengan menggunakan beberapa faktor
indikator.
Sebelum dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1992, factor-faktor yang dijadikan sebagai pedoman untuk menilai
permintaan kredit adalah watak, kemampuan, modal, jaminan dan kondisi-kondisi
ekonomi.[43] Sekarang
terjadi perubahan yakni untuk memperoleh keyakinan, sebelum memberikan kredit,
bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal,
agunan, dan prospek usaha dari nasabah debitur.
Penilaian watak menyangkut masalah
reputasi dari calon nasabah debitur, artinya calon nasabah debitur
mempergunakan kredit sesuai dengan tujuan dan selalu memenuhi kewajibannya
membayar kredit tepat waktu yang diperjanjikan.
Penilaian kemampuan menyangkut kemampuan
calon nasabah debitur dalam menjalankan dan mengembangkan usahanya sehingga
berjalan lancar.
Penilaian modal menyangkut masalah
besarnya modal yang dimiliki calon nasabah debitur. Semakin besar jumlah modal
yang dimiliki oleh nasabah debitur akan semakin baik, karena keterlibatan
nasabah debitur terhadap maju dan mundurnya usaha akan menjadi besar.
Penilaian jaminan atau agunan menyangkut
tentang harta benda milik nasabah debitur atau juga milik pihak ketiga yang
merupakan jaminan tambahan dan merupakan jalan terakhir terakhir untuk
mengamankan penyelesaian kredit.
Penilaian kondisi ekonomi menyangkut
masalah situasi perekonomian dan politik secara makro artinya kondisi dan
situasi yang memberikan dampak positif bagi prospek usaha nasabah debitur
Dari 5 (lima) factor penilaian yang
dilakukan bank, faktor terpenting yang berfungsi sebagai pengaman yuridis dari
kredit yang disalurkan adalah jaminan kredit. Fungsi yuridis ini berkaitan erat
dengan tujuan jaminan yakni sebgaimana dikatakan bahwa the purpose of a
security interest is to conver property rights upon someone to whom a debt is
due.[44]
Yang wajib dijadikan jaminan adalah yang
berkaitan dengan secara langsung dengan objek yang dibiayai. Pemberian kredi
tanpa jaminan tambahan lazim disebut dengan unsecured loans. Dapat
kita ketahui bersama bahwa jaminan tambahan itu dapat berupa barang bergerak
dan barang tidak bergerak. Jaminan tambahan yang merupakan benda tidak
bergerak adalah tanah, tanah beserta rumah/bangunan, kapal laut yang
melebihi berat 20 meter kubik. Pada umumnya, yang diterima oleh bank adalah
tanah yang sudah bersertifikat dengan bentuk perjanjian jaminannya adalah hak
tanggungan, namun bagi tanah yang belum bersertifikat maka sebelum lahirnya
Undang-Undang 4 tahun 1996 dapat dilakukan dengan menggunakan surat kuasa jual
atau perjanjian penyerahan jaminan dan pemberian kuasa.Jaminan tambahan yang
merupakan benda bergerak adalah mobil, stok barang dagangan, truk,
barang setenngah jadi, kapal yang berukuran tidak lebih dari 20 meter kubik.
Bentuk perjanjiannya adalah jaminan fidusia.
Jaminan fidusia adalah salah satu sarana
perlindungan hokum bagi keamanan bank yakni sebagai suatu keamanan bank yakni
sebagai suatu kepastian bahwa nasabah debitur akan melunasi pinjaman kredit.
Perjanjian jaminan fidusia bukan suatu hak jaminan yang lahir karena
Undang-Undang melainkan harus diperjanjikan terlebih dahulu antara bank dengan
nasabah debitur. Oleh karena itu, fungsi yuridis pengikatan jaminan yang lahir
berdasarkan Pasal 1131 KUH Perdata. Fungsi yuridis pengikatan benda jaminan
fidusia dalam akta jaminan fidusia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
perjanjian kredit. Keterkaitan fungsi yuridis jaminan fidusia sebagai
pengamanan kredit bank dapat dilihat dari beberapa model akta jaminan fidusia
sebelum dan sesudah berlakunya Undang-Undang No 42 tahun 1999 tentang jaminan
fidusia sebagai berikut:
Model pertama berbunyi:
Bahwa untuk lebih menjamin terbayarnya
dengan segala sesuatu yang terutang dan harus dibayar oleh Debitur sebagaiman
diatur dalam Perjanjian Kredit Pemberi Fidusia diwajibkan memberikan Jaminan
Fidusia atas stock barang-barang milik pemberi fidusia untuk kepentingan
Penerima Fidusia sebagaimana yang akan diuraikan di bawah ini
Bahwa untuk memenuhi ketentuan tentang pemberian jaminan yang ditentukan
dalam Perjanjian Kredit, Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia telah semufakat
dan setuju, dengan ini mengadakan perjanjian sebagaimana yang dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999(seribu sembilan ratus sembilan puluh
sembilan), tentang Jaminan Fidusia sebagaimana yang hendak dinyatakan dalam
akta ini.[45]
Model kedua berbunyi:
Para pihak menerangkan terlebih dahulu bahwa antara Bank dengan penghadap
(selanjutnya disebut “Debitur/Penjamin/Pemberi Fidusia”) telah dibuat dan
ditanda tangani Surat Perjanjian Kredit, dibuat di bawah tangan bermaterai
cukup, tertanggal hari ini, nomor 1.137/04/PK/IX/2001 (selanjutnya disebut
Perjanjian Kredit).
Bahwa untuk lebih menjamin pembayaran hutang tersebut dengan baik Bank
memerlukan jaminan.
Bahwa penjamin bersedia memberikan jaminan sebagaimana ditentukan dalam
Perjanjian Kredit tersebut di atas yaitu atas sebuah kendaraan mobil, roda
empat (4) merk Daihatsu/S 89 RPR 1300 CC, akan disebut milik Pemberi Fidusia
untuk kepentingan Bank selaku Penerima Fidusia.[46]
Model ketiga berbunyi:
Untuk lebih menjamin pembayaran kembali dengan tertib dan dengan semestinya
pembiayaan berikut margin keuntungan Pemberi Fidusia kepada bank yang timbul
karena Perjanjian Pembiayaan Al Murabahah yang telah diberikan berdasarkan
Perjanjian Pembiayaan Al Murabahah, tertanggal hari ini, nomornya berturut
dengan nomor akta ini, yang telah dibuat antara Bank dan Pemberi Fidusia,
Pemberi Fidusia dengan ini menyerahkan kepada Bank/Penerima Fidusia hak milik
secara kepercayaan atas objek jaminan fidusia yaitu 1 (satu) buah sepeda motor
Merk Honda/NF 100, Model Sepeda Motor R2, tahun 2000 (dua ribu), warna hitam,
Nomor rangka MHIKE21XYK221466, Nomor Mesin KEVZE1218762, Nomor Polisi BK 6047
FJ, Surat Kendaraan tersebut terdaftar atas nama pemberi fidusia sebagaimana
ternyata pada Buku Pemilik Kendaraan Bermotor (BPKB).[47]
Dengan fungsi yuridis jaminan fidusia
yang dinyatakan dalam akta jaminan fidusia semakin meneguhkan kedudukan bank
sebagai kreditur perferen. Selain itu, kreditur penerima fidusia akan
memperoleh kepastian terhadap pengembalian hutang debitur. Fungsi yuridis itu
juga akan mengurangi tingkat resiko bank dalam menjalankan usahanya sebagaimana
yang dimaksud dalam Undang-Undang Perbankan.
[1] Maria Kaban, “Tinjauan Juridis
Terhadap Perjanjian Kredit”, artikel diakses pada 20 September 2007 dari http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf
[2] Redaksi Sinar Grafika, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, cet.V, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h.67.
[3] Chaeruddin Syah Nasution, “Manajemen Kredit Syari’ah Bank Muamalat”, artikel diakses pada 20 September 2007 darihttp://www.fiskal.depkeu.go.id/webbkf/kajian%5CChaerudin-3.pdf
[4] Sri Soedewi Maschoen Sofwan, Hukum Jaminan Di
Indonesia, Pokok-pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan (Yogyakarta: Liberti, 1980), h.33.
[5] Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir
Dari Perjanjian, cet.II, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), h.1.
[6] Subekti & R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,cet.XXV, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992), h.269.
[7] Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, cet.III, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h.5.
[8] Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, cet.I, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), h.57.
[12] Kartini Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir
dari Perjanjian, (Jakarta: PT Raja Grafindo persada,
2004), cet.II, h.91.
[14] Pusat Bahasa Depertemen Pendidikian Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai
Pustaka, 2002), (Edisi Ketiga), cet.II, h.458.
[15] Yang berubah adalah mengenai kontra prestasi yang diterima, semula kontra
prestasi dari kredit tersebut dapat berupa bunga, imbalan, atau hasil
keuntungan, sedangkan pada ketentuan yang baru kontra prestasi hanya berupa
bunga saja
[16] Muhammad Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT Cutra
Aditya Bakti, 2000), cet.III, h.367.
[18] Zulfi Chairi, “Pelaksanaan Kredit Perbankan Suari’ah Menurut Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998”, artikel diakses pada 20 September 2007
dari perdata-zulfi. Pdf
[21] Maria Kaban, “Tinjauan Juridis
Terhadap Perjanjian Kredit”, artikel diakses pada 20 September 2007 dari http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf
[22] Subekti & R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992), cet.XXV, h.272
[25] Maria Kaban, “Tinjauan Juridis
Terhadap Perjanjian Kredit”, artikel diakses pada 20 September 2007 dari http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-maria4.pdf
[26] Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di
Indonesia,(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003), h.260-261
[28] Subekti & R. Tjitrosudibjo, Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata,cet.XXV, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1992), h.240.
[29] Pusat Bahasa Depertemen Pendidikian Nasional, Kamus Besar bahasa Indonesia (Edisi Ketiga), cet.II, (Jakarta:
Balai Pustaka, 2002), h.456.
[32] CST Kansil dan Christian ST Kansil, Kamus Istilah Aneka
Hukum,cet.I, (Jakarta: pustaka Sinar Harapan, 2000), h.65
[34] Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, cet.II, (Jakarta: Balai Pustaka), h.241.
[35] Tan Kamelo, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan
yang Didambakan, cet.I (Bandung: Alumni, 2004), h.18.
[36] Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, cet.I, (Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2004), h.56.
[41] Gunawan widjaja & Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, cet.III, (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada, 2003), h.39.
[42] Kata “keyakinan” tidak dikenal dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967, tetapi baru muncul dan dinyatakan sebagai norma hukum
perbankan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Undang-Undang Nomor 10
tahun 1998
[44] Adrian. J. Bradbrook, Australian Real Property Law, (Sydney: The Law
Book Company Limited, 1991), h.708
[45] Tan kamelo, Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan yang Didambakan, cet.I.
(Bandung: Alumni, 2004), h.188
Tidak ada komentar:
Posting Komentar