Kamis, 26 Maret 2015

Hukum Adat

BAB I
PENDAHULUAN
 1.1 Latar Belakang
             Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri, dengan kata lain memerlukan orang lain untuk melengkapi kehidupannya. Maka daripada itulah manusia hidup berkelompok dalam berbagai macam suku yang memiliki budaya, adat istiadat ataupun kebiasaan daerahnya masing-masing. Yang mana kebuadayaanya itu adalah hasil turun temurun dari nenek moyang mereka untuk menjaga adat kebudayaannya agar tetap utuh. Budaya-budaya yang dianut, tentunya diyakini oleh segolongan manusia dan mendarah daging dalam kehidupannya untuk selalu melaksanakan apa yang dimiliki oleh kebudayaannya sendiri. Dan tentu saja di dalam kebuadayaan itu terdapat sebuah adat istiadat yang mengatur kehidupan manusia, baik itu adalah sebuah larangan, perintah dan kebolehan terhadap sesuatu. Dalam makalah ini akan dibahas tentang “Hukum Adat Delik”, yang mana mencakup sebuah adat yang di dalamnya terkandung beberapa macam unsur yang mengarah kepada larangan untuk melakukan sesuatu dalam suatu adat yang menganut hukum yang diyakininya.
1.2 Rumusan Masalah
            Meninjau lebih lanjut dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat diuraik-an sebagai berikut:
1. Bagimana Definisi Hukum Adat Delik?
2. Apa yang menjadi sifat-sifat dan unsur-unsur hukum adat delik?
3. Bagaimana Penyelesaian Adat delik?
4. Apa itu hukuman peradilan adat?
5. Apakah alasan yang meringankan dan memberatkan dalam penindakan hukum adat?
6. Apa kewajiban Petugas Hukum Adat?


BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Delik Adat
            Menurut pendapat ahli pengertian Delik Adat ialah sebagai berikut:
·         Ter Haar mengartikan suatu delik itu sebagai tiap - tiap gangguan dari keseimbangan, tiap - tiap gangguan pada barang - barang materiil dan inmateriil milik hidup seorang atau kesatuan (persatuan) orang - orang, yang menyebabkan timbulnya suatu reaksi adat; dengan reaksi adat ini keseimbangan akan dan harus dipulihkan kembali.
           Jadi menurut Ter Haar untuk dapat disebut delik, perbuatan itu harus mengakibatkan kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak hanya terdapat apabila peraturan - peraturan hukum dalam suatu masyarakat dilanggar, melainkan juga apabila norma - norma kesusilaan, keagamaan,  dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
·         Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sahingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat. Jadi, hukum delik adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut
·         Van Vollenhoven mengartikan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan.
·         Prof. Soepomo menjelaskan bahwa segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar - ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
            Dari pendapat - pendapat para sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya suatu delik adat itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan kembali ketentraman dan keseimbangan itu, maka terjadi reaksi - reaksi adat. Dan reaksi - reaksi adat ini merupakan tindakan - tindakan yang bermaksud mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran adat, demikian kata - kata Lesquillier. Di dalam hukum adat, hukuman (reaksi adat), merupakan suatu tindakan pembalasan dendam yang dibatasi oleh suatu sistem denda, sedangkan yang menjadi dasar hukum pidana adat itu adalah asas-solidaritas.
2.2 Sifat-sifat Hukum Adat Delik dan Unsur-unsur Delik Adat
2.2.1 Sifat-sifat hukum adat delik (hukum pidana adat)
            Hukum adat delik tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan di lapangan hukum perdata, oleh karena maka sisitem hukum adat hanya mengenal suatu prosedur dalam hal penuntutan yaitu baik untuk penuntutan secara perdata maupun penuntutan secara pidana (kriminal). Ini berarti bahwa petugas hukum yang berwenang untuk mengambil tindakan- tindakan konkrit (reaksi adat) guna membetulkan hukum yang dilanggar itu adalah tidak seperti dalam sistem hukum adat dimana hakim pidana untuk menyelesaikan perkara pidana dan hakim perdata untuk menyelesaikan hukum perdata melainkan hanya satu pejabat saja yaitu kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim pengadilan negeri untuk semua macam pelanggaran hukum adat. Adapun sifat hukum adat menurut para pakar yaitu diantaranya: Prof. I Made Widnyana, S.H Di dalam bukunya berjudul KAPITA SELEKTA HUKUM PIDANA ADAT (1993:3-4) menyebutkan bahwa hukum pidana adat mempunyai sifat sebagai berikut:
1.      Menyeluruh dan menyatukan, artinya hukum pidana adat tidak membeda-bedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan pelanggaran yang bersifat perdata.
2.      Ketentuan yang terbuka, hal ini didasarkan atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau perbuatan yang mungkin terjadi.
3.      membeda-bedakan permasalahan, apabila terjadi peristiwa pelanggaran maka yang dilihat bukan semata- mata perbuatan dan akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya. Dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu peristiwa menjadi berbeda-beda.
4.      peradilan dengan permintaan, menyelesaikan pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan, adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak adil.
5.      tindakan reaksi atau koreksi, tindakan reaksi ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi dapat jga dikenakan pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin dibebankan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengemblikan keseimbangan yang terganggu.
b. Unsur- unsur delik adat(hukum pidana adat)
            Apabila kita amati beberapa batasan atau pengertian mengenai HUKUM ADAT DELIK sebagaimana dipaparkan di atas, maka pada pokoknya di dalam HUKUM ADAT DELIK terdapat 4 (empat) unsur penting yaitu:
·         Ada perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok atau pengurus (pimpina/pejabat) adat sendiri.
·         Perbuatan itu bertentangan norma-norma hukum adat.
·         Perbuatan itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan dalam masyarakat, dan
·         Atas perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.
2.2 Macam-macam Delik Adat
            Setelah kita mengetahui sifat-sifat dan corak hukum adat delik maka sekarang kita hendak meninjau beberapa jenis delik di dalam lapangan hukum adat. Berikut adalah paparan beberapa jenis adat dalam lapangan hukum adat sebagai berikut:
1.      Delik yang paling berat adalah segala pelanggaran yang memperkosa keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib serta segala pelanggaran yang mengganggu dasar susunan masyarakat. Misalnya perbuatan penghianatan adalah memperkosa keselamatan masyarakat seluruhnya, menentang dasar hidup bersama, sehinggga perbutan ini merupakan delik yang paling berat. Di dalam suasana tradisional di daerah suku-suku dayak, di pulau-pulau Seram, Baru, Timor, dan pulau- kecil di Maluku, yang dikatakan penghianat ialah, apabila seseorang membuka rahasia masyarakat atau sekongkol dengan golongan musuh.
2.      Delik terhadap diri pribadi kepala adat, delik ini juga mengenai masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan penjelmaan, manifestasi, personifikasi masyarakat. Di Minangkabau, orang yang melawan perintah Kepala Adat, melakukan delik yang di sebut dago. Di seluruh indonesia, segala perbuatan yang tidak sopan terhadap Kepala Adat itu melanggar hukum. Reaksi adat terhadap delik-delik itu tergantung kepada berat-ringanya pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal melanggar kesopanan terhadap Kepala Adat, umumnya si pelanggar harus minta maaf, dengan melakukan upacara yang ditentukan oleh adat (melakukan perjamuan adat, dan sebagainya).
3.      Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau tenung, delik ini tidak terdapat di dalam KUHP. Sebaliknya di dalam sistem Hukum Adat ia termasuk golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat seluruhnya. Orang yang terkenal sebagai ahli sihir, yang biasa menggunakan kekuatan gaib (magie hitam) untuk mengganggu kehidupan orang banyak, dapat dibunuh.
4.      Penggangguan kekuatan batin masyarakat, segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat, yang mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik terhadap masyarakat seluruhnya.
5.      Delik incest (sumbang), delik yang merusak dasar susunan rakyat, yaitu hubungan kelamin antara orang-orang menurut Hukum Adat dilarang kawin. Misalnya hubungan kelamin antara seorang wanita dari golongan bangsawan dengan seorang pria dari golongan rakyat biasa (masyarakat Bugis dan Makassar).
6.      Delik yang menentang kepentingan umum masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
            Delik yang termasuk kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan antara dunia lahir dan dunia ghaib. Delik yang termasuk pelanggaran memperkosa dasar susunan masyarakat diantaranya seperti pengkhianatan, pembakaran kampung, hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian dan lain sebagainya.
2.3 Penyelesaian Hukum dan Petugas Hukum Untuk Perkara Adat
            Secara terpisah, masyarakat adat telah memiliki tata cara sendiri dalam menyelesaikan adat deliknya. Misalanya adanya undang-undang tentang adat delik di Minangkabau. Dalam menyelesaikan delik adat, tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun pidana. Semua ditangani dengan cara yang sama dan oleh hakim yang sama. Hal ini berbeda dengan hukum barat yang membedakan antara peradilan pidana dan perdata. Penyelesaian delik adat juga tidak mengenal adanya asas legalitas sebagaimana Pasal 1 Ayat 1 KUHP, dimana menurut asas tersebut “suatu hukum diputuskan jika ada undang-undang yang mengatur”. Dalam hukum adat, keputusan dapat diambil dengan pertimbangan tertua /Pemimpin adat, tanpa harus ada aturan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat terbuka, bukan seperti hukum barat yang bersifat tertutup. Selain itu, hukum adat lebih bersifat luwes, tidak paten seperti hukum barat sebagaimana termaksud dalam pasal-pasalnya. Dalam hukum adat, seseorang akan dijatuhi sanksi tergantung latar belakang (Sengaja, Tidak sengaja, Terpaksa) dan akibat dari perbuatannya (Merugikan, Sangat Merugikan). Memang hal ini secara praktik ada di hukum perdata barat, namun keluwesannya tidak sebagaimana hukum adat yang sangat kental mempertimbangkan latar belakang pelanggaran. Rawagino menyatakan bahwa menurut Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat desanya, termasuk juga perkara delik adat. bahkan di dalam kenyataan saat ini, hakim perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana. Jadi, menurut Ragawino, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.
2.4 Peradilan Adat                      
A. Pengertian peradilan adat
            Konsep peradilan adat seperti yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan konsep peradilan adat yang termuat dalam  Undang-undang Nomor  Nomor 21 Tahun 2001. Menurut Pasal 51 ayat (1) undang-undang tersebut, “Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan”.  Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa “Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan;...memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu sistem peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan Pasal 3a RO dan hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah “peradilan adat” dalam makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan terjemahan inheemsche rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak relevan lagi, sebab peradilan khusus bagi penduduk asli Indonesia tidak diperlukan lagi karena tidak ada lagi perbedaan penggolongan penduduk berdasarkan keturunan. Di samping itu, peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah dihapus melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah “peradilan adat” tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan istilah “peradilan adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat dengan mengacu kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat mewakili konsep peradilan adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia saat ini. Konsep ini sesuai pula dengan difinisi peradilan adat yang dikembangkan oleh Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem peradilan yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”. Dengan menekankan pada batasan bahwa peradilan adat adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat, maka peradilan adat mempunyai landasan konstitusional, yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna sebagai pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat .

Peradilan menurut hukum adat adalah:
a.    Meneruskan dengan rasa tanggung jawab, pembinaan segala hal yang telah terbentuk         sebagai hukum di dalam masyarakat
b.    Jika tidak ada penetapan - penetapan terhadap soal yang serupa atau jika penetapan - penetapan pada waktu yang lampau tidak dapat di pertahankan, maka hakim harus memberi putusan yang menurut keyakinannya akan berlaku sebagai keputusan hakim di dalam daerah hukumnya hakim itu. Hakim harus memberi bentuk kepada apa yang di kehendaki oleh sistem hukum, oleh kenyataan soaial dan oleh syarat kemanusiaan sebagai peraturan hukum.
            Peradilan berdasarkan hukum adat membutuhkan hakim - hakim yang besar tanggung jawabnya, yang berbudi luhur.
Pepakem Cirebon melukiskan hakim sebagai :
·         Candra            = bulan yang menyinari segala tempat yang gelap
·         Tirta     = air yang membersihkan segala tempat yang kotor
·         Sari      = bunga yang harum baunya, sehingga hawa sekelilingnya menjadi
Sedap
·      Cakra   = Dewa yang mengawasi berlakunya keadilan di dunia ini
B. MACAM-MACAM PERADILAN ADAT
            Sejak zaman hindia belanda dahulu sampai lahrnya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari 1951, di Indonesia belum ada univikasi dalam susunan dan kekuasaan pradilan, karena masih ada lima macam tatanan peradilan yang berlaku yakni:
1.      Tatanan peradilan gubernemen (gouvernemen rechts praak) yang meliputi seluruh wilayah hindia belanda yang terdiri dari macam-macam jenis peradilan.
2.      Peradilan peribummi (inheemsche rechts praak) yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan untuk menyelenggarakan peradilanya sendiri n dengan hakim-hakim peribumi.
3.      Peradilan swapraja (zelbestuur srechts praak) yang terdapat di daerah-daerah swapraja.
4.      Peradilan agama (raad agama) yang ada di daerah-daerah hindia belanda, baik yang di daerahnya terdapat peradilan gubernemen maupun yang menetapkan peradilan agama sebagai bagian dari peradilan peribumi atau peradilan swap raja.
5.      Peradlan desa (dorpsrechts praak) yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga merupakan peadilan adat.

            Dari lima macam tatanan peradilan diatas, yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum adat sebagai landasan mengadili perkara ialah:
1.      Peradilan peribumi
ini mempunyai wewenang untuk mengadili perkara yang terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang peradilan gubernemen. Pasal 130 I.S. menegaskan bahwa orang-orang bumiputera dimanapun ia berada, kalau tidak menyelenggarakan peradilan sendiri, maka peradilanya dilakukan atas nama raja atau ratu (belanda).
2.      Peradilan desa
            Peradilan desa ini merupakan bagian dari peradilan peribumi (di jawa), dan kadang-kadang merupakan peradilan swap raja (di luar jawa madura). Di beberapa daerah tertentu peradilan desa dapat juga merupakan bagian dari peradilan gubernemen seperti peradilan desa di ambon, saparua dan banda (karesi denan maluku). Nama-nama peradilan di desa ini bermacam-macam misalnya: rapat (dii tapanuli, Palembang, jambi, bengkulu), musapat (aceh besar, singkel), mahkamah (riau), perapatan (Kalimantan selatan dan timur), hudat (Sulawesi selatan), raad (sasak), majlis (gorontalo). Peradilan desa ini dilakukan secara majlis oleh para kepala desa atau kepala masyarakat hukum adat setempat dan wewenangnya hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil terhadap putusan peradilan desa ini dapat dimintakan banding terhadap hakim yang lebih tinggi yaitu hakim distrip.
3.      Peradilan swa praja
            Pada dasarnya kekuasaan otonomi pada daerah-daerah swapraja meliputi juga kewenangan dalam peradilan, sehingga daerah-daerah swapraja yang ada pada zaman hindia belanda dahulu pada umumnya mempunyai peradilanya sendiri Dari empat daerah swapraja yang ada di jawa (kesultanan Yogyakarta, pekualaman Yogyakarta, kesunanan Surakarta , mengkunegaran surakarta).pada tahun 1907 (Stbl.1907 no.156) pekualaman Yogyakarta melepaskan kekuasaan mengadilinya, sehingga peradilan untuk kaula daerah swapraja pekualaman di serahkan kepada kekuasaan peradilan gubernamen.tiga daerah lainya tetap berjalan , sampai di hapuskan oleh pemerintah Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Darurat no.1 tahun 1951 yang mengatur susunan dan kekuasaan pengadilan.
2.5 Alasan-Alasan Yang Dapat Menutup Kemungkinan Untuk Dipidana, Dapat Meringankan dan Dapat Memberatkan Pidana
            Dalam hukum adat, terdapat alasan - alasan untuk menutup kemungkinan seorang dapat dipidana dan alasan - alasan yang memberatkan pidana tersebut. Misalnya yang menutup kemungkinan dipidana ialah, perbuatan - perbuatan yang dilakukan untuk memperoleh obat bagi orang yang sakit atau untuk keperluan - keperluan lain yang mendesak, seperti untuk memenuhi keinginan seorang wanita yang sedang ngidam (gejala mulai mengandung). Jadi apabila untuk keperluan - keperluan tersebut di atas terpaksa orang mengambil buah – buahan atau tanaman milik orang lain (mencuri), maka si pencuri itu tidak akan mendapat reaksi adat dan tidak akan dihukum. Dalam alam pikiran adat berarti, bahwa perbuatan dimaksud di atas, tidak dianggap mengganggu perimbangan hukum.
            Alasan - alasan untuk memberatkan pidana, misalnya kedudukan seseorang dalam persekutuan. Makin tinggi kedudukan didalam persekutuan, makin berat sifat delik yang dilakukan terhadapnya, jadi juga makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya. Misalnya seorang kepala adat akan mendapat hukuman yang lebih berat dari pada seorang warga biasa dari persekutuan yang bersangkutan untuk suatu delik yang sama. Adapula alasan - alasan yang dapat meringankan pidana adalah "penyesalan".
Suatu pepatah batak berbunyi:
’Gala gala sitellu, telluk mardagul - dagul, molo sala pembahenanku luhat huapulapul"
Artinya: "jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki kesalahan saya".
            Dalam hukum adat terdapat "hak asyl", yaitu suatu hak untuk mendapat perlindungan. Misalnya yang sering terjadi di Sumatra Selatan, Sulawesi, Sumba dan Bali, yaitu bagi orang yang melakukan delik terhadap seorang sesuatu famili (membawa lari gadis, berzinah) atau terhadap seorang lain (mencuri) dapat bebas dari hak pembalasan pihak yang terkena, apabila ia dapat lari dan berlindung ke tempat istimewa tertentu, seperti istana raja, rumah kepala adat atau rumah seorang pegawai agama. Pihak yang terkena wajib tunduk kepada cara pembetulan hukum yang akan dilakukan oleh raja, kepala adat atau pegawai agama yang bersangkutan.
2.6 Kewajiban Petugas Hukum Adat
            Menurut Ter Haar memang ada ikatan batin antara penetapan petugas hukum adat dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hakim Pengadilan Negeri yang harus mengadili menurut hukum adat, harus sadar akan struktur kerokhanian masyarakat agar putusan - putusannya benar - benar selaras dengan hubungan - hubungan, lembaga - lembaga dan peraturan - peraturan tingkah laku yang hidup di dalam masyarakat yang bersangkutan.
            Hakim terikat kepada sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan tiap keputusannya, hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum yang tidak tertulis.
            Hakim juga terikat kepada keputusannya sendiri, artinya dalam hal - hal yang serupa ia harus memberi keputusan yang serupa pula. Tetapi dalam hal ini, harus diperhatikan bahwa ia harus menghormati dan terikat juga kepada sistem hukum Indonesia yang tidak mengenal dasar "Precedent" seperti yang berlaku di Inggria dan Amerika. Ini berarti bahwa ia berkewajiban untuk meninjau secara mendalam, apakah penetapan - penetapan yang diambil pada waktu lampau masih dapat dan harus dipertahankan berhubung dengan adanya perubahan-perubahan di dalam masyarakat dan berhubung dengan adanya pertumbuhan perasaan- perasaan keadilan baru.
            Masyarakat adalah hidup, selalu bergerak; berhubung dengan itu maka rasa keadilan rakyat bergerak pula, sehingga pada suatu waktu hakim tentu akan memberi putusan yang menyimpang dari putusan - putusan yang pernah diambil pada waktu yang lampau dalam hal - hal yang serupa, sebab kenyataan sosial di dalam masyarakat yang bersangkutan berubah oleh karena situasi baru di dalam masyarakat menghendaki di adakannya penetapan baru.
            Van Vollenhoven menegaskan, bahwa hakim adalah berwewenang, bahkan berkewajiban untuk menambah hukum adat berdasarkan atas pertimbangan, bahwa perubahan yang cukup besar di dalam situasi kehidupan rakyat menghndaki dibentuknya peraturan hukum baru.
            Di dalam sistem hukum adat, hakim berwewenang dan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada peraturan hukum yang positif, memberi putusan yang mencerminkan rasa keadilan rakyat yang bertumbuh baru, wajib memberi konkeetisasi, wajib menuangkan menjadi konkrit di dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai dengan aliran masyarakat. Prof. Scholten dalam "Algemeene deel" halaman 102 menamakan sistem ini sebagai sistem "terbuka" atau "dinamis".




BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
       Delik adat merupakan pelanggaran pidana maupun perdata adat yang jenis-jenisnya dapat dikerucutkan ke dalam dua bagian. Yakni delik adat yang berat dan pelanggaran yang merusak tatanan masayarakat. Dalam penyelesaian delik adat, diutamakan unsur perdamaian melalui hakim perdamaian desa selaku pengendali delik adat. Jika tidak tercapai perdamaian, maka kepala adat dapat memberikan sanksi sesuai latar belakang serta akibat pelanggaran tersebut.
B.    Saran
       Akhir-akhir ini tentunya kita akrab dengan idiologi-idiologi radikal yang terkesan bersikap acuh tak acuh bahkan sulit menerima -kalau tidak ingin dikatakan tidak sama sekali terhadap budaya, adat istiadat suatu masyarakat khususnya di Indonesia. Ironisnya lagi, target mereka bukan hanya sekedar adat atau sebagian masyarakat. Akan tetapi NKRI dengan pancasila sebagai idiologi negara pun mereka gerogoti. Tentunya kalau berfikir lebih, hal ini merupakan suatu delik dalam tinjauan hukum positif maupun hukum adat. Sebagai warga negara yang baik dan muslim yang taat tentunya perlu kita sematkan dan tanamkan dalam hati kecintaan terhadap bangsa dan negara. Karena “hubbul wathan minal iman”. Keanekaragaman suku, bahasa dan budaya membuat Indonesia kaya akan adat istiadat. Mari kita jaga kelestarian adat istiadat tersebut sebagai bagian dari jati diri dan pribadi bangsa Indonesia.








DAFTAR PUSTAKA
Wignjodipoero, soerojo. Pengantar Dan Asas-asas Hukum Adat, PT. Toko Gunung Agung, Bandung, 1967
Hadikusuma, Hilman, Prof., S.H. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. CV Mandar Maju, Bandung :1992 

Ragawino, Bewa, S.H, M.Si. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, FISIP UNDIP, Bandung : 2008

Van Dijk, R, Prof,Dr. Pengantar Hukum Adat Indonesia. CV Sumur Bandung, Bandung : 1982

Widnjodipoero, Soerojo, S.H. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Haji Masagung,. Jakarta : 1987


Makalah Tindak Pidana Pencurian Uang

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Di dalam penerapan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ini ada masalah yang perlu diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Setiap kinerja dan  profesionalitas penegak hukum yang tidak memadai akan menciptakan kendala dalam pengungkapan kejahatan sehingga mengalami kesulitan pembuktian dalam melakukan penyidikan terhadap kejahatan pencucian uang.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat adanya  peningkatan Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM) sepanjang 2008 yakni hampir 100 persen. Jika selama 2007 LTKM tercatat hanya 11.668 transaksi, maka sepanjang 2008 bertambah hingga 95,6 persen menjadi 22.824 LTKM. Laporan tahun 2008 tersebut merupakan hasil laporan yang dilakukan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) kepada PPATK. Sebanyak 652 hasil analisis dari 1.240 LTKM telah disampaikan PPATK kepada penegak hukum berdasarkan laporan statistik per 31 Desember 2008. Penyerahan ini terdiri dari 602 kasus atau hasil analisis dari 1.041 LTKM dan 23  kasus atau hasil analisis disampaikan ke Kejaksaan Agung (yang merupakan hasil dari 199 LTKM). Sementara itu, laporan kejahatan yang disampaikan PPATK ke Kejaksaan Agung sebanyak 16 kasus. Saat ini terdapat 13 putusan pengadilan menggunakan dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kondisi demikian ini menyebabkan Indonesia mengalami kegagalan dalam pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, karena tidak seimbangnya jumlahkasus temuan PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan yang berindikasipencucian uang, dengan jumlah kasus yang diselesaikan aparat penegak hukum.Pembuktian memegang peranan yang sangat penting dalam penyelesaian suatu perkara, karena ketentuan-ketentuan dalam hukum acaranya bertujuan untukmemperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan melalui suatu putusan  Hakim, didasarkan pada penerapan hukum pembuktian. Dengan perkataan lain, maka untuk memperoleh jaminan maksimal atas kebenaran dan keadilan suatu perkara  sangat tergantung dalam proses pembuktian yang sesuai dengan ketentuan. 
Alat-Alat bukti yang digunakan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang (money laundring) terdapat dalam Pasal 73 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang Nomor 8 Tahun 2010 menyatakan :
“Alat bukti  yang sah dalam pembukitan Tindak Pidana Pencucian Uang ialah :
a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;dan/atau
b. alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau alat yang serupa optik dan dokumen.”

Dengan demikian  alat-alat pembuktian yang ditentukan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang jauh lebih banyak dan lebih beragam jikadibandingkan dengan apa yang ditentukan dalam KUHAP mengingat cara-cara yang digunakan pelaku untuk melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang dengan cara-cara  yang canggih. Akan tetapi alat bukti yang ditentukan KUHAP tersebut merupakan  bagian dari alat-alat bukti yang terdapat dalam Tindak Pidana Pencucian Uang.
Kejahatan  money laundering  tidak hanya merupakan permasalahan di bidang penegakan hukum, namun juga menyangkut ancaman keamanan nasional dan internasional suatu negara. Sehubungan dengan hal tersebut upaya untuk mencegah dan memberantas praktik pemutihan uang telah menjadi perhatian internasional yang antara lain dilakukan dengan melakukan kerjasama bilateral maupun multilateral.

1.2 Rumusan Masalah
1. apa itu tindak pidana pencucian uang?
2. apakah faktor pendorong terjadi pencucian uang?
3. Proses pencucian Uang
4. dampak dari pencucian uang      
        5. peraturan perundang tindak pidana pencucian uang  









BAB
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pencucian Uang
Pada saat ini, lebih dari sebelumnya, pencucian uang atau yang dalam istilah bahasa Inggrisnya disebut  money laundering, sudah merupakan fenomena dunia dan merupakan tantangan bagi dunia internasional. Walau pun begitu, tetap tidak ada definisi yang berlaku universal dan komprehensif mengenai apa yang disebut dengan pencucian uang atau  money laundering. Pihak penuntut dan lembaga penyidikan kejahatan, kalangan pengusaha dan perusahaan, institusi-institusi, organisasi-organisasi, negara-negara yang sudah maju, dan negara-negara dari dunia ketiga, maupun para ahli masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan perspektif yang berbeda-beda.
Pencucian uang adalah tindakan-tindakan yang bertujuan untuk menyamarkan uang hasil tindak pidana sehingga seolah-olah dihasilkan secara halal. Atau untuk pengertian lebih jelasnya,  money laundering  adalah rangkaian kegiatan yang merupakan proses yang dilakukan oleh seseorang atau organisasi terhadap uang haram yaitu uang yang dihasilkan dari kejahatan, dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul uang tersebut dari pihak berwenang dengan cara memasukkan uang tersebut ke dalam sistem keuangan (financial system) sehingga kemudian uang tersebut dapat dikeluarkan dari sistem keuangan tersebut sebagai uang halal.

2.2 Faktor Pendorong Terjadinya Pencucian Uang
Pada saat ini, banyak tindak pidana dan kejahatan yang sudah dipengaruhi oleh perkembangan teknologi, sehingga semakin sukar pengungkapannya. Perkembangan teknologi yang semakin canggih dan harganya yang terjangkau seringkali dipergunakan sebagai alat bantu melakukan kejahatan. Modus operandi kejahatan seperti ini, hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai status sosial menengah ke atas dalam masyarakat, bersikap tenang, simpatik serta terpelajar. Dengan mempergunakan kemampuan, kecerdasan, kedudukan serta kekuasaannya, seorang pelaku tindak pidana dapat meraup dana yang sangat besar untuk keperluan pribadi atau kelompoknya saja.
Industri perbankan merupakan sarana efektif untuk dijadikan sumber pencucian uang dan juga sebagai mata rantai nasional dan internasional dalam proses pencucian uang. Hal ini disebabkan sarana perbankan cukup banyak menawarkan jasa-jasa dan instrumen dalam lalu lintas keuangan yang dapat menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul suatu dana.
Adapun faktor-faktornya adalah sebagai berikut:
a)      Faktor pertama adalah globalisasi. Dalam hal ini terjadinya globalisasi memang mengakibatkan para pelaku pencucian uang dapat memanfaatkan sistem financial dan perbankan internasional untuk melakukan kegiatannya.
b)      Faktor kedua adalah cepatnya perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi ini mungkin dapat dikatakan sebagai faktor yang paling mendorong berkembangnya pencucian uang. Perkembangan teknologi informasi seperti internet misalnya, dapat mengakibatkan hilangnya batas-batas antar negara.
c)      Yang ketiga adalah mengenai ketentuan kerahasiaan bank. Ketentuan ini mengakibatkan kesulitan bagi pihak berwenang  untuk menyelidiki suatu rekening yang mereka curigai dimiliki oleh atau dengan cara yang ilegal.
d)     Faktor keempat adalah dimungkinkannya oleh ketentuan perbankan di suatu negara untuk seseorang dapat menyimpan dana di suatu bank dengan nama samaran atau tanpa nama atau anonim.
e)      Faktor kelima adalah munculnya jenis uang baru yaitu electronic money atau E-money, yaitu sehubungan dengan maraknya  electronic commerce atau  ecommerce melalui internet. Kegiatan pencucian uang yang dilakukan melalui jaringan internet ini biasa disebut sebagai cyber-laundering.
f)       Faktor keenam adalah karena dimungkinkannya praktek pencucian uang dengan cara yang disebut  layering  atau pelapisan. Dengan cara ini, pihak yang menyimpan dana di bank bukanlah pemilik sesungguhnya dari dana itu. Deposan tersebut hanyalah bertindak sebagai kuasa atau pelaksana amanah dari pihak lain yang menugasinya untuk mendepositokan uang tersebut di sebuah bank.
g)      Faktor ketujuh, karena berlakunya ketentuan hukum berkenaan dengan kerahasiaan hubungan antara  lawyer dengan kliennya, dan antara akuntan dengan kliennya.
h)      Faktor kedelapan adalah karena seringkali pemerintah yang bersangkutan tidak bersungguh-sungguh untuk memberantas praktek pencucian uang yang dilakukan melalui sistem perbankan negara tersebut.
i)        Faktor kesembilan adalah karena tidak adanya dikriminalisasi perbuatan pencucian uang di sebuah negara. Dengan kata lain, negara yang bersangkutan tidak memiliki undang-undang tentang pencucian uang yang menentukan perbuatan pencucian uang sebagai tindak pidana.


2.3 Proses Pencucian uang ( Money Laundryng )
Namun demikian, non-bank financial institution juga merupakan target yang tak kalah menarik bagi para pelaku pencucian uang. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam beberapa tahun terakhir para pelaku pencucian uang telah membuat langkah terobosan dengan mempergunakan lembaga keuangan non bank sebagai sarana pencucian uang. Secara sederhana, proses pencucian uang dapat dikelompokkan pada tiga kegiatan, yakniplacement, layering dan integration
a)      Tahap Penempatan / placement
a.       Placement merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh para pelaku dalam hubungan dengan lembaga keuangan non bank. Perusahaan asuransi misalnya dapat dimanfaatkan melalui pembelian asuransi jiwa yang merupakan suatu tahapan melakukan placement dan sekaligus memuat unsur layering danintegration. Pengiriman uang melalui perusahaan pengiriman uang (money transfer), placement pada lembaga pembiayaan dan venture capital serta pelunasan pinjaman pada perusahaan sewa guna usaha (leasing)merupakan modus-modus yang dapat digunakan oleh para pelaku pencucian uang dengan menggunakan non-bank financial institution.
b.      Tahap ini merupakan menempatakan Dana yang dihasilkan dari suatu aktivitas kriminal, misalnya dengan mendepositkan uang kotor tersebut ke dalam sistem keuangan. Bentuk kegiatan ini antara lain sebagai berikut:
1.        Penyelundupan Dana (Menempatkan Dana pada Bank).
2.        Menyetorkan uang pada bank pada bank sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.
3.        Menyeludupkan uang tunai dari suatu Negara ke Negara lain.
4.        Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah sehingga mengubah kas menjadi kredit pembiayaan.
5.        Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi, misalnya bisnis properti, membelikan hadiah yang nilainya tinggi / mahal sebagai penghargaan / hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaaan jasa keuangan lain.

b. Tahap Pelapisan / layering
            Pelapisan (layering) bertujuan menghilangkan jejak, baik ciri-ciri aslinya atau asal usul dari uang tersebut. Misalnya melakukan transfer Dana dari beberapa rekening ke lokasi lainnya atau dari suatu negara ke negara lain dan dapat dilakukan beberapa kali. Biasanya cara ini di lakukan dengan meminta kredit di bank dan dengan uang kotornya dipakai untuk membiayai suatu kegiatan usaha secara legal.Dengan melakukan cara seperti ini, maka kelihatannya bahwa kegiatan usahanya yang secara legal tersebut tidak merupakan hasil dari uang kotor itu melainkan dari perolehan kredit bank tadi.
Bentuk kegiatan ini antara lain;
6.        Transfer dana dari suatu bank ke bank lain
7.        Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah
8.        Memindahkan uang tunai lintas batas Negara melalui jaringan kegiatan usaha yang sah.
c.Tahap Penyatuan / integration
            Tahap ini merupakan tahap menyatukan kembali uang-uang kotor tersebut setelah melalui tahap-tahap placement atau layering di atas, yang untuk selanjutnya uang tersebut dipergunakan dalam berbagai kegiatan-kegiatan legal. Sehingga uang kotor itu kelihatan syah..

            Dalam Undang - Undang TPPU pengertian tindak pidana pencucian uang diatur dalam pasal 3 dan pasal 6.Pasal3 menyebutkan, barang siapa dengan sengaja menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, menukarkan, menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang dengan pidana penjara paling singkat lima tahun dan paling lama lima belas tahun dan denda. paling sedikit lima miliar rupiah dan paling banyak lima belas miliar rupiah. Sementara itu Pasal 6 Undang-undang yang sarna mengatur, bahwa setiap orang yang menerima atau menguasai:penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan penukaran harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan dengan hukuman yang sarna seperti diatur dalam Pasal 3.
2.4 Dampak Pencucian Uang
   Praktek pencucian uang atau money laundering memang tidak secara langsung merugikan orang atau perusahaan tertentu. Secara sepintas bahkan praktek ini tampak tidak menimbulkan korban. Praktek pencucian uang berbeda dengan tindak pidana lain seperti pembunuhan, perampokan atau pencurian yang menimbulkan kerugian langsung bagi korbannya.
Masyarakat dunia internasional pada umumnya justru berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa praktik pencucian uang yang dilakukan oleh organisasi-organisasi kejahatan dan para penjahat mempunyai akibat yang amat merugikan. Dalam kegiatan pencucian uang, dana yang menjadi obyek dari kegiatannya adalah uang yang diperoleh melalui tindak kejahatan. Setelah melalui proses pencucian uang, uang tersebut akan menjadi sedemikian “tersamar” sehingga sulit untuk dideteksi oleh pihak yang berwenang dan sulit untuk diusut kembali ke sumbernya. Dan karena tidak dapat diusut kembali ke sumbernya, maka para pelaku kejahatan tersebut akan dapat dengan mudah menggunakan uang tersebut untuk mengembangkan kejahatannya, yang akhirnya akan membawa kerugian besar pada masyarakat. Beberapa dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat antara lain:
a)      Pencucian uang memungkinkan para pengedar narkoba, penyeludup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya. Hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasnya.
b)      Kegiatan ini mempunyai potensi untuk merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan dengan peredaran uang haram yang sangat besar.
c)      Pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dan secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.
d)     Masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional.
e)      Pencucian uang dapat merugikan sektor swasta yang sah (Undermining in the Legitimate Privet sector).  Salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang terasa di sektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan perusahaan-perusahaan untuk mencampur uang haram dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatannya. Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki akses ke dana haram yang sangat besar jumlahnya, yang memungkinkan mereka untuk menyediakan barang-barang dan jasa yang dijual oleh perusahaan-perusahaan tersebut dengan harga yang jauh di bawah pasar. Bahkan perusahaan ini dapat saja menjual barang-barang tersebut di bawah harga produksinya. Dengan demikian mereka  akan memiliki  competitive advantage terhadap perusahan yang bekerja secara sah. Hal ini membuat bisnis yang sah menjadi kalah bersaing dan menjadi bangkrut.
f)       Pencucian uang dapat mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya.

2.5 Peraturan Perundangan Tentang Pencucian Uang di Indonesia
Indonesia baru memandang praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana dan menetapkan sanksi bagi pelakunya adalah ketika diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Pencucian Uang (UUPU). Sebelumnya pencucian uang di Indonesia belum dinyatakan sebagai suatu tindak pidana sehingga mengakibatkan Indonesia menjadi “surga” dan sasaran kegiatan pencucian uang. Di masa Orde Baru, yaitu ketika Soeharto masih berkuasa sebagai Presiden Republik Indonesia, Pemerintah pada waktu itu tidak pernah menyetujui untuk mengkriminalisasi pencucian uang. Alasannya adalah karena pelarangan pencucian uang di Indonesia hanya akan menghambat penanaman modal asing yang sangat diperlukan bagi pembangunan di Indonesia.
Negara Indonesia ini memang memiliki kondisi yang menguntungkan sekali bagi para pelaku kegiatan pencucian uang. Kondisi-kondisi tersebut antara lain adalah sistem devisa bebas yang dianut, sistem kerahasiaan bank, belum memadainya perangkat hukum, kebutuhan negara ini akan likuiditas, dan lainnya.
Sistem devisa bebas yang dianut di Indonesia memungkinkan tiap orang bebas untuk memasukkan atau membawa keluar valuta asing dari wilayah yuridiksi Indonesia sesuai dengan PP No 1 Tahun 1982. Sebelum keluarnya PP ini, ada ketentuan yang mengatur agar setiap devisa yang keluar masuk negara Indonesia harus di catat oleh Bank Indonesia sebagaimana yang digariskan dalam UU N0 32 tahun 1964.  Berlakunya PP No 1 Tahun 1982 ini memang dimaksudkan untuk mengatasi keterbatasan dana bagi pembangunan nasional dengan mengundang para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia, akan tetapi di sisi lain mengakibatkan dampak negatif yaitu maraknya kegiatan pencucian uang. Sistem devisa bebas ini memungkinkan berbagai cara pencucian uang melalui transaksi lintas negara dalam waktu singkat sehingga menyulitkan pihak berwenang yang ingin melacaknya.
Beberapa kondisi di atas adalah hal-hal yang membuat Indonesia didesak oleh dunia internasional untuk segera memberlakukan UU pencucian uang dan mengkriminalisasi kegiatan pencucian uang. Pemberantasan kegiatan pencucian uang dapat dilakukan melalui pendekatan pidana maupun pendekatan bukan pidana, seperti pengaturan dan tindakan administratif.
Sebelum diundangkannya UU No 15 Tahun 2002, Pemerintah Indonesia sudah mulai berpartisipasi dalam pemberantasan pencucian uang. Adapun beberapa peraturan dalam perundang-undangan Indonesia yang terkait dengan usaha pemberantasan pencucian uang antara lain:
a. Peraturan Perundang-undangan Tersebar
            1. KUHP, khususnya pasal 480 dan pasal 481  mengenai Penadahan.
            2. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
            3. UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika
            4. UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika
b. Peraturan Dalam Undang-undang Perbankan
            1. UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
            2. UU No. 7 Tahun 1998
            3. UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa.
c. Peraturan Dan Surat Edaran Bank Indonesia
            1. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No.32/50/KEP/DIR tentang Persyaratan             dan Tata Cara Pembelian Saham Bank Umum.
            2. PBI No.2/27/PBI/2000 tentang Bank Umum
3. PBI No.3/3/PBI/2001 tentang Pembatasan Transaksi Rupiah Dan Pemberian Kredit Valas oleh Bank.
            4. PBI No.3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
            5. Surat Edaran Bank Indonesia No.2/10/DASP tentang Tata Usaha

Penarikan Cek/Bilyet Giro Kosong.
Setelah diundangkannya UU No 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (UUTPPU) pada tanggal 17 April 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 dan kemudian dicabut dan diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, terjadi perubahan besar dalam tata cara memandang dan menangani kegiatan pencucian uang di Indonesia. Perubahan yang pertama adalah keberlakuan UUTPPU ini telah menyatakan praktek pencucian uang sebagai suatu tindak pidana, sehingga akan ada sanksi bagi orang-orang yang melakukan kegiatan ini. Perubahan yang kedua adalah dibentuknya unit independen yang akan berperan besar dalam pencegahan dan pemberantasan kegiatan pencucian uang di Indonesia yaitu Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dalam pembahasan kondisi setelah diundangkannya UU No.8 Tahun 2010 ini akan dibagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama adalah Pokok-Pokok UU No. 8 Tahun 2010 dalam hubungannya dengan pengkriminalisasian pencucian uang di Indonesia, bagian kedua adalah mengenai tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana lainnya yang terkait, sedangkan pada bagian ketiga pembahasan akan dikhususkan pada PPATK sebagai “operator pelaksana” dari UU ini.
Dari perspektif mikro pencegahan dan pemberantasan TPPU, UU No 8 Tahun 2010 ini telah menggambarkan kemajuan pesat dan komitmen politik pemerintah Indonesia dalam ikut serta melaksanakan ketertiban dan keamanan internasional khusus dari tindak pidana ini. Namun, dalam perspektif makro sistem ekonomi nasional dan langkah pemerintah untuk meningkatkan investasi domestik, terutama dari investor asing, keberadaan UU ini bisa menjadi kontraproduktif.
Ada beberapa faktor penyebab dari masalah kontra produktif ini. Pertama, sistem birokrasi di Indonesia sangat lemah dalam segi manajemen administrasi, koordinasi, dan pengawasan pelaksanaan tugas yang dibebankan oleh undang-undang. Kedua, sistem birokrasi di Indonesia masih sangat lemah dari sisi profesionalisme, integritas, dan akuntabilitas sehingga potensial muncul penyalahgunaan wewenang serta korupsi, kolusi, dan nepotisme. Ketiga, UU ini tidak menyediakan sarana hukum yang memadai untuk melakukan pencegahan terhadap kemungkinan moral hazard yang akan terjadi dalam implementasi UU ini.
Keempat, sistem birokrasi di Indonesia tidak berhasil dan tidak pernah berhasil menggunakan prinsip stick and carrot dan merrit sytem yang benar dalam langkah reformasi birokrasi sejak 1998 yang lampau. Kelima, Indonesia merupakan tempat strategis dalam peta politik global baik dari aspek ekonomi internasional, politik internasional dan keamanan maupun pertahanan regional. Ketiga aspek tersebut memerlukan kekuatan ekonomi nasional dan penegakan hukum yang konsisten dan berkesinambungan serta kewaspadaan nasional yang tinggi dari para pengambil kebijakan.
Perubahan-perubahan dan sekaligus kelemahan dari UU PPTPPU 2010 di atas merupakan stumbling block yang akan kontraproduktif dari ketiga aspek tersebut jika tidak segera dikeluarkan peraturan pemerintah atau sekurang-kurangnya peraturan Kepala PPATK untuk mengantisipasi kemungkinan moral hazards dalam implementasi UU tersebut. Solusi ini semakin penting mengingat iklim dunia usaha di Indonesia sampai saat ini belum menunjukkan kesungguhan menciptakan good corporate governance, persaingan usaha tidak sehat atau rentan terjadi suap di sektor publik seperti diatur dalam Konvensi PBB Antikorupsi Tahun 2003.
Money laundering secara hurufiah juga diistilahkan dengan pemutihan uang, pendulangan uang atau disebut pula pembersihan uang dari hasil transaksi gelap (legitimazing ill egal income). Kata money daam istilah money laundering berkonotasi beragam, ada yang menyebutnya sebagai dirty money, hot money, illegal money atau illicit. Istilah kita menyebut beragam pula : uang kotor, uang haram, uang panas atau uang gelap. Eksistensi pencucian uang dapat dibuktikan dengan kenyataan bahwa kejahatan (besar) tetap hidup.
Kejahatan dan tindak pidana kejahatan pencucian uang bagaikan dua sisi mata uang, selalu berdampingan, saling membutuhkan dan tidak mungkin dilepaskan satu sama lainnya. Pencucian Uang mungkin sama tuanya dengan eksistensi uang itu sendiri. Pada dekade 1920-an sampai 1930-an saat mana kelompok penjahat yang dipimpin Al Capone melakukan pencucian uang dari kegiatan ilegalnya seperti penjualan alkohol yang saat itu dilarang, pengelakan pembayaran pajak.
Al Capone pun dimasukkan ke penjara berdasarkan pelanggaran terhadap Volsted Act. Dan Amerika Serikatlah yang pertama kali menyatakan bahwa pencucian uang sebagai suatu kejahatan. Hampir bersamaan pula waktunya ketika Swiss pada awal tahun tahun 1930-an melaksanakan pemberlakuan prinsip rahasia bank, dan pencucian uang memeperoleh pijakan kokoh. Pada saat itu petinggi-petinggi Nazi Jerman melakukan pencucian uang dengan memanfaatkan prinsip rahasia bank di Swiss. Industri pasar modal adalah industri yang dinamis dan sarat teknologi informasi, bersifat borderless dan multidimensi, hamper menyentuh semua sendi-sendi kehidupan suatu bangsa dan Negara.
Perlu ketaatan yang sangat konsiten dan dinamis dalam upaya menjaga keteraturan, kewajaran serta bermanfaat bagi kehidupan masyarakat secara luas. Tidak dapat dihindari bahwa pasar modal membuka peluang bagi pelaku pencucian uang untuk melakukan pencucian uang yang diperolehnya dari hasil tindak pidana di segala bidang. Pasar Modal merupakan salah satu lahan yang sangat mungkin dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Minimnya pelaporan transaksi keuangan mencurigakaan oleh Penyedia Jasa Keuangan Pasar (PJK) di Modal Pasar tidak secara otomatis diterima bahwa pasar modal kita bersih dari Pencucian Uang. Karena transaksi di Pasar Modal melibatkan arus uang dan arus efek.
Banyak hal yang harus dibenahi oleh industri pasar modal agar dapat menjadi bagian dari upaya nyata pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia, termasuk dalam hal ini penerapan prinsip-prinsip good corporate governance (tata kelola perusahaan yang baik). Kesulitan mendapatkan nasabah serta persaingan usaha antar perusahaan efek dan upaya untuk memperbesar keuntungan tidak sebanding dengan risiko yang harus dihadapi dalam hal pembiaran perusahaan efek untuk dijadikan media dalam rangka pencucian uang. Penyedia Jasa Keuangan di bidang pasar modal, perlu memiliki kesamaan pemahaman bahwa upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang adalah juga menjadi bagian dari tanggung jawabnya.
 Walaupun transaksi dilakukan melalui atau melibatkan penyedia jasa keuangan lainnya, hal tersebut tidak mengurangi tanggung jawab dan kewajiban dari PJK pasar modal untuk melaksanakan kewajiban pelaporan atas adanya Transaksi Keuangan yang Mencurigakan.


















BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1.  Pencucian uang atau money laundry adalah perbuatan menempatkan, mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan,menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
2.  Guna mencegah terjadinya tindak pidana pencucian uang maka menurut Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang selanjutnya disebut TPPU di bentuklah Pusat Pelaporan dan Analisis Keuangan yang selanjutnya disebut PPATK. Lembaga ini merupakan lembaga independen yang memiliki tugas dan wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas tindakan-tindakan yang dicurigai berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang.
3.2 Saran
1.  Upaya pencegahan dilakukan baik di tiap negara (secara domestik) maupun secara internasional. Namun inti dari langkah pencegahan baik secara domestik dan internasional adalah Sama, yaitu memperketat aliran dana yang masuk maupun keluar dari suatu negara. Seperti yang dilakukan bank yang mulai memperketat asal usul Dana yang akan di simpan oleh nasabah. Selain itu, dengan adanya United Nations Convention AgainstIllicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic Substances atau yang lebih dikenal UN Drugs Convention, diharapkan dapat meningkatkan kerjasama antar negara dan meningkatkan komitmen untuk memberantas money laundry.
2.  Upaya untuk mencegah terjadinya pencucian uang di Indonesia, dibutuhkan partisipasi dan dukungan masyarakat. Sekalipun ada ketentuan tentang anti pencucian uang, tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk menyimpan uang di bank. Jika uang Anda bersih, kenapa harus risih?

.  


DAFTAR PUSTAKA
Garnasih yenti. 2009. Kriminalisasi Pencucian Uang (Money Laundering).Jakarta: Universitas Indonesia
Undang - Undang No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
Publishing Co., 1990, www.google.com/Pengertian PPATK/yeti ganarsih/17 juli 2010