BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa
hidup sendiri, dengan kata lain memerlukan orang lain untuk melengkapi
kehidupannya. Maka daripada itulah manusia hidup berkelompok dalam berbagai
macam suku yang memiliki budaya, adat istiadat ataupun kebiasaan daerahnya
masing-masing. Yang mana kebuadayaanya itu adalah hasil turun temurun dari
nenek moyang mereka untuk menjaga adat kebudayaannya agar tetap utuh.
Budaya-budaya yang dianut, tentunya diyakini oleh segolongan manusia dan
mendarah daging dalam kehidupannya untuk selalu melaksanakan apa yang dimiliki
oleh kebudayaannya sendiri. Dan tentu saja di dalam kebuadayaan itu terdapat
sebuah adat istiadat yang mengatur kehidupan manusia, baik itu adalah sebuah
larangan, perintah dan kebolehan terhadap sesuatu. Dalam makalah ini akan
dibahas tentang “Hukum Adat Delik”, yang mana mencakup sebuah adat yang di
dalamnya terkandung beberapa macam unsur yang mengarah kepada larangan untuk
melakukan sesuatu dalam suatu adat yang menganut hukum yang diyakininya.
1.2
Rumusan Masalah
Meninjau lebih lanjut dari latar belakang diatas, maka rumusan masalah dapat diuraik-an sebagai
berikut:
1. Bagimana Definisi Hukum Adat Delik?
2. Apa yang menjadi sifat-sifat dan unsur-unsur hukum adat delik?
3. Bagaimana Penyelesaian Adat delik?
4. Apa itu hukuman peradilan adat?
5. Apakah alasan yang meringankan dan memberatkan dalam penindakan hukum
adat?
6. Apa kewajiban Petugas Hukum Adat?
BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Delik Adat
Menurut pendapat ahli
pengertian Delik Adat ialah sebagai berikut:
·
Ter
Haar mengartikan suatu delik itu sebagai tiap - tiap gangguan dari
keseimbangan, tiap - tiap gangguan pada barang - barang materiil dan inmateriil
milik hidup seorang atau kesatuan (persatuan) orang - orang, yang menyebabkan timbulnya
suatu reaksi adat; dengan reaksi adat ini keseimbangan akan dan harus
dipulihkan kembali.
Jadi
menurut Ter Haar untuk dapat disebut delik, perbuatan itu harus mengakibatkan
kegoncangan dalam neraca keseimbangan masyarakat. Dan kegoncangan ini tidak
hanya terdapat apabila peraturan - peraturan hukum dalam suatu masyarakat
dilanggar, melainkan juga apabila norma - norma kesusilaan, keagamaan,
dan sopan santun dalam masyarakat dilanggar.
·
Soerojo Wignjodipoero berpendapat delik adalah suatu
tindakan yang melanggar perasaan keadilan & kepatutan yang hidup dalam
masyarakat, sahingga menyebabkan terganggunya ketentraman serta keseimbangan
masyarakat guna memulihkan kembali, maka terjadi reaksi-reaksi adat. Jadi,
hukum delik adat adalah keseluruhan hukum tidak tertulis yang menentukan adanya
perbuatan-perbuatan pelanggaran adat beserta segala upaya untuk memulihkan
kembali keadaan keseimbangan yang terganggu oleh perbuatan tersebut
·
Van
Vollenhoven mengartikan delik adat itu sebagai perbuatan yang tidak diperbolehkan.
·
Prof.
Soepomo menjelaskan bahwa segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan
hukum adat merupakan perbuatan yang illegal dan hukum adat mengenal pula
ikhtiar - ikhtiar untuk memperbaiki hukum jika hukum itu diperkosa.
Dari pendapat - pendapat
para sarjana tersebut dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya suatu delik
adat itu merupakan suatu tindakan yang melanggar perasaan keadilan dan
kepatutan yang hidup dalam masyarakat, sehingga menyebabkan terganggunya
ketentraman serta keseimbangan masyarakat yang bersangkutan guna memulihkan
kembali ketentraman dan keseimbangan itu, maka terjadi reaksi - reaksi adat. Dan
reaksi - reaksi adat ini merupakan tindakan - tindakan yang bermaksud
mengembalikan ketentraman magis yang diganggu dan meniadakan atau
menetralisasikan suatu keadaan sial yang ditimbulkan oleh suatu pelanggaran
adat, demikian kata - kata Lesquillier. Di dalam
hukum adat, hukuman (reaksi adat), merupakan suatu tindakan pembalasan dendam
yang dibatasi oleh suatu sistem denda, sedangkan yang menjadi dasar hukum
pidana adat itu adalah asas-solidaritas.
2.2 Sifat-sifat Hukum Adat Delik dan
Unsur-unsur Delik Adat
2.2.1 Sifat-sifat hukum adat delik (hukum
pidana adat)
Hukum
adat delik tidak mengadakan pemisahan antara pelanggaran hukum yang mewajibkan
tuntutan memperbaiki kembali hukum di dalam lapangan hukum pidana dan di
lapangan hukum perdata, oleh karena maka sisitem hukum adat hanya mengenal
suatu prosedur dalam hal penuntutan yaitu baik untuk penuntutan secara perdata
maupun penuntutan secara pidana (kriminal). Ini berarti bahwa petugas hukum
yang berwenang untuk mengambil tindakan- tindakan konkrit (reaksi adat) guna
membetulkan hukum yang dilanggar itu adalah tidak seperti dalam sistem hukum
adat dimana hakim pidana untuk menyelesaikan perkara pidana dan hakim perdata
untuk menyelesaikan hukum perdata melainkan hanya satu pejabat saja yaitu
kepala adat, hakim perdamaian desa atau hakim pengadilan negeri untuk semua
macam pelanggaran hukum adat. Adapun sifat hukum adat menurut para pakar yaitu
diantaranya: Prof. I Made Widnyana, S.H Di dalam bukunya berjudul KAPITA
SELEKTA HUKUM PIDANA ADAT (1993:3-4) menyebutkan bahwa hukum pidana adat
mempunyai sifat sebagai berikut:
1. Menyeluruh dan menyatukan, artinya hukum
pidana adat tidak membeda-bedakan pelanggaran yang bersifat pidana dan
pelanggaran yang bersifat perdata.
2. Ketentuan yang terbuka, hal ini didasarkan
atas ketidak mampuan meramal apa yang akan terjadi sehingga tidak bersifat
pasti sehingga ketentuannya selalu terbuka untuk segala peristiwa atau
perbuatan yang mungkin terjadi.
3. membeda-bedakan permasalahan, apabila terjadi
peristiwa pelanggaran maka yang dilihat bukan semata- mata perbuatan dan
akibatnya tetapi dilihat apa yang menjadi latar belakang dan siapa pelakunya.
Dengan alam pikiran demikian maka dalam mencari penyelesaian dalam suatu
peristiwa menjadi berbeda-beda.
4. peradilan dengan permintaan, menyelesaikan
pelanggaran adat sebagian besar berdasarkan adanya permintaan atau pengaduan,
adanya tuntutan atau gugatan dari pihak yang dirugikan atau diperlakukan tidak
adil.
5. tindakan reaksi atau koreksi, tindakan reaksi
ini tidak hanya dapat dikenakan pada si pelakunya tetapi dapat jga dikenakan
pada kerabatnya atau keluarganya bahkan mungkin dibebankan kepada masyarakat
yang bersangkutan untuk mengemblikan keseimbangan yang terganggu.
b. Unsur- unsur delik adat(hukum pidana adat)
Apabila kita amati
beberapa batasan atau pengertian mengenai HUKUM ADAT DELIK sebagaimana
dipaparkan di atas, maka pada pokoknya di dalam HUKUM ADAT DELIK terdapat 4
(empat) unsur penting yaitu:
·
Ada
perbuatan yang dilakukan oleh perseorangan atau kelompok atau pengurus
(pimpina/pejabat) adat sendiri.
·
Perbuatan
itu bertentangan norma-norma hukum adat.
·
Perbuatan
itu dipandang dapat menimbulkan kegoncangan karena mengganggu keseimbangan
dalam masyarakat, dan
·
Atas
perbuatan itu timbul reaksi dari masyarakat berupa sanksi adat.
2.2 Macam-macam Delik Adat
Setelah kita mengetahui
sifat-sifat dan corak hukum adat delik maka sekarang kita hendak meninjau
beberapa jenis delik di dalam lapangan hukum adat. Berikut adalah paparan
beberapa jenis adat dalam lapangan hukum adat sebagai berikut:
1. Delik yang paling berat adalah segala
pelanggaran yang memperkosa keseimbangan antara dunia lahir dan dunia gaib
serta segala pelanggaran yang mengganggu dasar susunan masyarakat. Misalnya
perbuatan penghianatan adalah memperkosa keselamatan masyarakat seluruhnya,
menentang dasar hidup bersama, sehinggga perbutan ini merupakan delik yang
paling berat. Di dalam suasana tradisional di daerah suku-suku dayak, di
pulau-pulau Seram, Baru, Timor, dan pulau- kecil di Maluku, yang dikatakan
penghianat ialah, apabila seseorang membuka rahasia masyarakat atau sekongkol
dengan golongan musuh.
2. Delik terhadap diri pribadi kepala adat,
delik ini juga mengenai masyarakat seluruhnya, karena kepala adat merupakan
penjelmaan, manifestasi, personifikasi masyarakat. Di Minangkabau, orang yang
melawan perintah Kepala Adat, melakukan delik yang di sebut dago. Di seluruh
indonesia, segala perbuatan yang tidak sopan terhadap Kepala Adat itu melanggar
hukum. Reaksi adat terhadap delik-delik itu tergantung kepada berat-ringanya
pelanggaran yang dilakukan. Dalam hal melanggar kesopanan terhadap Kepala Adat,
umumnya si pelanggar harus minta maaf, dengan melakukan upacara yang ditentukan
oleh adat (melakukan perjamuan adat, dan sebagainya).
3. Delik yang menyangkut perbuatan sihir atau
tenung, delik ini tidak terdapat di dalam KUHP. Sebaliknya di dalam sistem
Hukum Adat ia termasuk golongan perbuatan yang menentang keselamatan masyarakat
seluruhnya. Orang yang terkenal sebagai ahli sihir, yang biasa menggunakan
kekuatan gaib (magie hitam) untuk mengganggu kehidupan orang banyak, dapat
dibunuh.
4. Penggangguan kekuatan batin masyarakat,
segala perbuatan atau kejadian yang mengganggu kekuatan batin masyarakat, yang
mencemarkan suasana batin, yang menentang kesucian masyarakat, merupakan delik
terhadap masyarakat seluruhnya.
5. Delik incest (sumbang), delik yang merusak
dasar susunan rakyat, yaitu hubungan kelamin antara orang-orang menurut Hukum
Adat dilarang kawin. Misalnya hubungan kelamin antara seorang wanita dari
golongan bangsawan dengan seorang pria dari golongan rakyat biasa (masyarakat
Bugis dan Makassar).
6. Delik yang menentang kepentingan umum
masyarakat dan menentang kepentingan hukum suatu golongan famili.
Delik yang termasuk
kriteria yang berat ini adalah segala pelanggaran yang menganggu keseimbangan
antara dunia lahir dan dunia ghaib. Delik yang termasuk pelanggaran memperkosa
dasar susunan masyarakat diantaranya seperti pengkhianatan, pembakaran kampung,
hamil tanpa nikah, melahirkan gadis, zina, pembunuhan, penganiayaan, pencurian
dan lain sebagainya.
2.3 Penyelesaian Hukum dan Petugas Hukum
Untuk Perkara Adat
Secara terpisah,
masyarakat adat telah memiliki tata cara sendiri dalam menyelesaikan adat
deliknya. Misalanya adanya undang-undang tentang adat delik di Minangkabau.
Dalam menyelesaikan delik adat, tidak ada perbedaan antara hukum perdata maupun
pidana. Semua ditangani dengan cara yang sama dan oleh hakim yang sama. Hal ini
berbeda dengan hukum barat yang membedakan antara peradilan pidana dan perdata.
Penyelesaian delik adat juga tidak mengenal adanya asas legalitas sebagaimana
Pasal 1 Ayat 1 KUHP, dimana menurut asas tersebut “suatu hukum diputuskan jika
ada undang-undang yang mengatur”. Dalam hukum adat, keputusan dapat diambil
dengan pertimbangan tertua /Pemimpin adat, tanpa harus ada aturan sebelumnya.
Hal ini menunjukkan bahwa hukum adat bersifat terbuka, bukan seperti hukum
barat yang bersifat tertutup. Selain itu, hukum adat lebih bersifat luwes,
tidak paten seperti hukum barat sebagaimana termaksud dalam pasal-pasalnya.
Dalam hukum adat, seseorang akan dijatuhi sanksi tergantung latar belakang
(Sengaja, Tidak sengaja, Terpaksa) dan akibat dari perbuatannya (Merugikan,
Sangat Merugikan). Memang hal ini secara praktik ada di hukum perdata barat,
namun keluwesannya tidak sebagaimana hukum adat yang sangat kental mempertimbangkan
latar belakang pelanggaran. Rawagino menyatakan bahwa menurut Undang-Undang
Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi
tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102 tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka
hakim perdamaian desa diakui berwenang memeriksa segala perkara adat desanya,
termasuk juga perkara delik adat. bahkan di dalam kenyataan saat ini, hakim
perdamaian desa biasanya memeriksa delik adat yang tidak juga sekaligus delik
menurut KUH Pidana. Delik-delik adat yang juga merupakan delik menurut KUH
Pidana, rakyat desa lambat laun telah menerima dan menganggap sebagai suatu
yang wajar bila yang bersalah itu diadili serta dijatuhi hukuman oleh hakim
pengadilan Negeri dengan pidana yang ditentukan oleh KUH Pidana. Jadi, menurut
Ragawino, dengan adanya hukum pidana dan perdata barat sejatinya meringankan
tugas hakim perdamaian adat, dimana masyarakat rela jika permasalahan yang
terjadi diselesaikan dalam undang-undang tersebut, namun hal ini mengurangi
substansi dari Undang-Undang Darurat No. 1/1951 yang mempertahankan
ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi tanggal 9 Maret 1935 Ataatblad No. 102
tahun 1955, Statblad No. 102/1945 maka hakim perdamaian desa diakui berwenang
memeriksa segala perkara adat, termasuk juga perkara delik adat.
2.4 Peradilan
Adat
A. Pengertian
peradilan adat
Konsep peradilan adat seperti
yang dimaksudkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 berbeda dengan
konsep peradilan adat yang termuat dalam Undang-undang
Nomor Nomor 21 Tahun 2001. Menurut Pasal 51 ayat (1)
undang-undang tersebut, “Peradilan adat adalah peradilan perdamaian di
lingkungan masyarakat hukum adat, yang mempunyai kewenangan memeriksa dan
mengadili sengketa perdata adat dan perkara pidana di antara para warga
masyarakat hukum adat yang bersangkutan”. Selanjutnya, dalam ayat-ayat berikutnya ditegaskan bahwa
“Pengadilan adat disusun menurut ketentuan hukum adat masyarakat hukum adat
yang bersangkutan;...memeriksa dan mengadili sengketa perdata adat dan perkara
pidana...berdasarkan hukum adat masyarakat hukum adat yang
bersangkutan”. Dengan demikian, konsep peradilan adat yang dimaksudkan
Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 lebih mendekati konsep peradilan desa, yaitu
sistem peradilan yang diselenggarakan oleh hakim-hakim dalam masyarakat
kecil-kecil (hakim desa) yang pada jaman Hindia Belanda diakui berdasarkan
Pasal 3a RO dan hingga kini secara yuridis belum pernah dihapuskan.
Berdasarkan penjelasan di atas, penggunaan istilah
“peradilan adat” dalam makna sebagai peradilan pribumi yang merupakan
terjemahan inheemsche rechtspraak, sungguh tidak tepat dan tidak
relevan lagi, sebab peradilan khusus bagi penduduk asli Indonesia tidak
diperlukan lagi karena tidak ada lagi perbedaan penggolongan penduduk
berdasarkan keturunan. Di samping itu, peradilan adat sebagai terjemahan inheemsche rechtspraak secara yuridis sudah dihapus
melalui Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Agar istilah “peradilan adat”
tetap dapat digunakan tanpa menimbulkan kerancuan dengan istilah “peradilan
adat” yang disebutkan dalam Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951, maka
harus ada persamaan persepsi mengenai konsep peradilan adat dengan mengacu
kepada konsep peradilan adat yang dianut dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun
2001. Konsep ini dapat dijadikan acuan karena dapat mewakili konsep peradilan
adat yang masih hidup dan dipraktekkan dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Konsep ini sesuai pula dengan difinisi peradilan adat yang dikembangkan oleh
Hedar Laujeng yang menyatakan bahwa peradilan adat adalah “sistem peradilan
yang lahir, berkembang dan dipraktikkan oleh komunitas-komunitas masyarakat
hukum adat di Indonesia, dengan berdasarkan hukum adat, di mana peradilan itu
bukan merupakan bagian dari sistem peradilan negara”. Dengan menekankan pada
batasan bahwa peradilan adat adalah sistem peradilan dalam kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat, maka peradilan adat mempunyai landasan konstitusional,
yaitu diakui berdasarkan Pasal 18B ayat (2) UUD 1945. Seperti dikatakan oleh
Mahfud MD, pengakuan terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat seperti
yang dimaksudkan dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 juga mengandung makna
sebagai pengakuan terhadap struktur dan tata pemerintahan yang dibentuk
berdasarkan norma hukum tata negara adat setempat .
Peradilan menurut hukum adat adalah:
a.
Meneruskan
dengan rasa tanggung jawab, pembinaan segala hal yang telah terbentuk
sebagai hukum di dalam masyarakat
b.
Jika
tidak ada penetapan - penetapan terhadap soal yang serupa atau jika penetapan -
penetapan pada waktu yang lampau tidak dapat di pertahankan, maka hakim harus
memberi putusan yang menurut keyakinannya akan berlaku sebagai keputusan hakim
di dalam daerah hukumnya hakim itu. Hakim harus memberi bentuk kepada apa yang
di kehendaki oleh sistem hukum, oleh kenyataan soaial dan oleh syarat
kemanusiaan sebagai peraturan hukum.
Peradilan berdasarkan
hukum adat membutuhkan hakim - hakim yang besar tanggung jawabnya, yang berbudi
luhur.
Pepakem Cirebon melukiskan hakim sebagai :
·
Candra = bulan yang menyinari segala
tempat yang gelap
·
Tirta = air yang membersihkan segala tempat yang
kotor
·
Sari = bunga yang harum baunya, sehingga hawa
sekelilingnya menjadi
Sedap
·
Cakra = Dewa yang mengawasi berlakunya keadilan di
dunia ini
B. MACAM-MACAM PERADILAN ADAT
Sejak zaman hindia belanda dahulu
sampai lahrnya undang-undang darurat nomor 1 tahun 1951 tanggal 14 Januari
1951, di Indonesia belum ada univikasi dalam susunan dan kekuasaan pradilan, karena
masih ada lima macam tatanan peradilan yang berlaku yakni:
1.
Tatanan peradilan
gubernemen (gouvernemen rechts praak) yang meliputi seluruh wilayah hindia
belanda yang terdiri dari macam-macam jenis peradilan.
2.
Peradilan peribummi
(inheemsche rechts praak) yang ada di daerah-daerah yang mendapat kebebasan
untuk menyelenggarakan peradilanya sendiri n dengan hakim-hakim peribumi.
3.
Peradilan swapraja (zelbestuur
srechts praak) yang terdapat di daerah-daerah swapraja.
4.
Peradilan agama (raad
agama) yang ada di daerah-daerah hindia belanda, baik yang di daerahnya
terdapat peradilan gubernemen maupun yang menetapkan peradilan agama sebagai
bagian dari peradilan peribumi atau peradilan swap raja.
5.
Peradlan desa
(dorpsrechts praak) yang terdapat dalam masyarakat desa, yang biasanya juga
merupakan peadilan adat.
Dari lima macam tatanan peradilan
diatas, yang dalam melaksanakan tugasnya selalu berpedoman pada hukum adat
sebagai landasan mengadili perkara ialah:
1.
Peradilan peribumi
ini mempunyai wewenang untuk mengadili perkara yang
terjadi antara orang-orang bumiputera yang tidak termasuk wewenang peradilan
gubernemen. Pasal 130 I.S. menegaskan bahwa orang-orang bumiputera dimanapun ia
berada, kalau tidak menyelenggarakan peradilan sendiri, maka peradilanya
dilakukan atas nama raja atau ratu (belanda).
2.
Peradilan desa
Peradilan
desa ini merupakan bagian dari peradilan peribumi (di jawa), dan kadang-kadang
merupakan peradilan swap raja (di luar jawa madura). Di beberapa daerah
tertentu peradilan desa dapat juga merupakan bagian dari peradilan gubernemen
seperti peradilan desa di ambon, saparua dan banda (karesi denan maluku).
Nama-nama peradilan di desa ini bermacam-macam misalnya: rapat (dii tapanuli,
Palembang, jambi, bengkulu), musapat (aceh besar, singkel), mahkamah (riau),
perapatan (Kalimantan selatan dan timur), hudat (Sulawesi selatan), raad
(sasak), majlis (gorontalo). Peradilan desa ini dilakukan secara majlis oleh
para kepala desa atau kepala masyarakat hukum adat setempat dan wewenangnya
hanya mengenai perkara-perkara perdata yang kecil terhadap putusan peradilan
desa ini dapat dimintakan banding terhadap hakim yang lebih tinggi yaitu hakim
distrip.
3.
Peradilan swa praja
Pada
dasarnya kekuasaan otonomi pada daerah-daerah swapraja meliputi juga kewenangan
dalam peradilan, sehingga daerah-daerah swapraja yang ada pada zaman hindia
belanda dahulu pada umumnya mempunyai peradilanya sendiri Dari empat daerah
swapraja yang ada di jawa (kesultanan Yogyakarta, pekualaman Yogyakarta,
kesunanan Surakarta , mengkunegaran surakarta).pada tahun 1907 (Stbl.1907
no.156) pekualaman Yogyakarta melepaskan kekuasaan mengadilinya, sehingga
peradilan untuk kaula daerah swapraja pekualaman di serahkan kepada kekuasaan
peradilan gubernamen.tiga daerah lainya tetap berjalan , sampai di hapuskan
oleh pemerintah Indonesia dengan lahirnya Undang-undang Darurat no.1 tahun 1951
yang mengatur susunan dan kekuasaan pengadilan.
2.5 Alasan-Alasan Yang Dapat Menutup Kemungkinan
Untuk Dipidana, Dapat Meringankan dan Dapat Memberatkan Pidana
Dalam hukum adat,
terdapat alasan - alasan untuk menutup kemungkinan seorang dapat dipidana dan
alasan - alasan yang memberatkan pidana tersebut. Misalnya yang menutup
kemungkinan dipidana ialah, perbuatan - perbuatan yang dilakukan untuk
memperoleh obat bagi orang yang sakit atau untuk keperluan - keperluan lain
yang mendesak, seperti untuk memenuhi keinginan seorang wanita yang sedang
ngidam (gejala mulai mengandung). Jadi apabila untuk keperluan - keperluan
tersebut di atas terpaksa orang mengambil buah – buahan atau tanaman milik
orang lain (mencuri), maka si pencuri itu tidak akan mendapat reaksi adat dan
tidak akan dihukum. Dalam alam pikiran adat berarti, bahwa perbuatan dimaksud
di atas, tidak dianggap mengganggu perimbangan hukum.
Alasan - alasan untuk
memberatkan pidana, misalnya kedudukan seseorang dalam persekutuan. Makin
tinggi kedudukan didalam persekutuan, makin berat sifat delik yang dilakukan
terhadapnya, jadi juga makin berat hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya.
Misalnya seorang kepala adat akan mendapat hukuman yang lebih berat dari pada
seorang warga biasa dari persekutuan yang bersangkutan untuk suatu delik yang
sama. Adapula alasan - alasan yang dapat meringankan pidana adalah
"penyesalan".
Suatu pepatah batak berbunyi:
’Gala gala sitellu, telluk mardagul - dagul,
molo sala pembahenanku luhat huapulapul"
Artinya: "jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki kesalahan saya".
Artinya: "jikalau saya berbuat salah, saya akan memperbaiki kesalahan saya".
Dalam hukum adat
terdapat "hak asyl", yaitu suatu hak untuk mendapat perlindungan.
Misalnya yang sering terjadi di Sumatra Selatan, Sulawesi, Sumba dan Bali,
yaitu bagi orang yang melakukan delik terhadap seorang sesuatu famili (membawa
lari gadis, berzinah) atau terhadap seorang lain (mencuri) dapat bebas dari hak
pembalasan pihak yang terkena, apabila ia dapat lari dan berlindung ke tempat
istimewa tertentu, seperti istana raja, rumah kepala adat atau rumah seorang
pegawai agama. Pihak yang terkena wajib tunduk kepada cara pembetulan hukum
yang akan dilakukan oleh raja, kepala adat atau pegawai agama yang
bersangkutan.
2.6 Kewajiban
Petugas Hukum Adat
Menurut Ter Haar memang
ada ikatan batin antara penetapan petugas hukum adat dan rasa keadilan yang
hidup di dalam masyarakat. Hakim Pengadilan Negeri yang harus mengadili menurut
hukum adat, harus sadar akan struktur kerokhanian masyarakat agar putusan -
putusannya benar - benar selaras dengan hubungan - hubungan, lembaga - lembaga
dan peraturan - peraturan tingkah laku yang hidup di dalam masyarakat yang
bersangkutan.
Hakim terikat kepada
sistem hukum yang telah terbentuk dan yang berkembang di dalam masyarakat.
Dengan tiap keputusannya, hakim menyatakan dan memperkuat kehidupan norma hukum
yang tidak tertulis.
Hakim juga terikat
kepada keputusannya sendiri, artinya dalam hal - hal yang serupa ia harus
memberi keputusan yang serupa pula. Tetapi dalam hal ini, harus diperhatikan
bahwa ia harus menghormati dan terikat juga kepada sistem hukum Indonesia yang
tidak mengenal dasar "Precedent" seperti yang berlaku di Inggria dan
Amerika. Ini berarti bahwa ia berkewajiban untuk meninjau secara mendalam,
apakah penetapan - penetapan yang diambil pada waktu lampau masih dapat dan
harus dipertahankan berhubung dengan adanya perubahan-perubahan di dalam
masyarakat dan berhubung dengan adanya pertumbuhan perasaan- perasaan keadilan
baru.
Masyarakat adalah
hidup, selalu bergerak; berhubung dengan itu maka rasa keadilan rakyat bergerak
pula, sehingga pada suatu waktu hakim tentu akan memberi putusan yang
menyimpang dari putusan - putusan yang pernah diambil pada waktu yang lampau
dalam hal - hal yang serupa, sebab kenyataan sosial di dalam masyarakat yang
bersangkutan berubah oleh karena situasi baru di dalam masyarakat menghendaki
di adakannya penetapan baru.
Van Vollenhoven
menegaskan, bahwa hakim adalah berwewenang, bahkan berkewajiban untuk menambah
hukum adat berdasarkan atas pertimbangan, bahwa perubahan yang cukup besar di
dalam situasi kehidupan rakyat menghndaki dibentuknya peraturan hukum baru.
Di dalam sistem hukum
adat, hakim berwewenang dan berkewajiban jikalau terhadap suatu soal belum ada
peraturan hukum yang positif, memberi putusan yang mencerminkan rasa keadilan
rakyat yang bertumbuh baru, wajib memberi konkeetisasi, wajib menuangkan
menjadi konkrit di dalam keputusannya apa yang menurut keyakinannya sesuai
dengan aliran masyarakat. Prof. Scholten dalam "Algemeene deel"
halaman 102 menamakan sistem ini sebagai sistem "terbuka" atau
"dinamis".
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Delik
adat merupakan pelanggaran pidana maupun perdata adat yang jenis-jenisnya dapat
dikerucutkan ke dalam dua bagian. Yakni delik adat yang berat dan pelanggaran
yang merusak tatanan masayarakat. Dalam penyelesaian delik adat, diutamakan
unsur perdamaian melalui hakim perdamaian desa selaku pengendali delik adat.
Jika tidak tercapai perdamaian, maka kepala adat dapat memberikan sanksi sesuai
latar belakang serta akibat pelanggaran tersebut.
B.
Saran
Akhir-akhir
ini tentunya kita akrab dengan idiologi-idiologi radikal yang terkesan bersikap
acuh tak acuh bahkan sulit menerima -kalau tidak ingin dikatakan tidak sama
sekali terhadap budaya, adat istiadat suatu masyarakat khususnya di Indonesia.
Ironisnya lagi, target mereka bukan hanya sekedar adat atau sebagian
masyarakat. Akan tetapi NKRI dengan pancasila sebagai idiologi negara pun
mereka gerogoti. Tentunya kalau berfikir lebih, hal ini merupakan suatu delik
dalam tinjauan hukum positif maupun hukum adat. Sebagai warga negara yang baik
dan muslim yang taat tentunya perlu kita sematkan dan tanamkan dalam hati
kecintaan terhadap bangsa dan negara. Karena “hubbul wathan minal iman”.
Keanekaragaman suku, bahasa dan budaya membuat Indonesia kaya akan adat
istiadat. Mari kita jaga kelestarian adat istiadat tersebut sebagai bagian dari
jati diri dan pribadi bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Wignjodipoero, soerojo. Pengantar Dan Asas-asas Hukum
Adat, PT. Toko Gunung Agung, Bandung, 1967
Hadikusuma,
Hilman, Prof., S.H. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. CV Mandar Maju,
Bandung :1992
Ragawino, Bewa, S.H, M.Si. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia, FISIP UNDIP, Bandung : 2008
Van Dijk, R, Prof,Dr. Pengantar Hukum Adat Indonesia. CV Sumur Bandung, Bandung : 1982
Widnjodipoero, Soerojo, S.H. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat. Haji Masagung,. Jakarta : 1987