Kamis, 26 November 2015

Jaminan Gadai dan Jaminan Fidusia



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Salah satu lembaga non perbankan yang menyediakan kredit adalah Pegadaian. Pegadaian merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang usaha intinya adalah bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar hukum gadai. Lembaga pegadaian menawarkan peminjaman dengan system gadai. Jadi masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barangnya.
Lembaga pegadaian memiliki kemudahan antara lain prosedur dan syarat-syarat administrasi yang mudah dan sederhana, dimana nasabah cukup memberikan keterangan-keterangan singkat tentang identitasnya dan tujuan penggunaan kredit, waktu yang relatif singkat dana pinjaman sudah cair dan bunga relatif rendah.
Masalah jaminan utang berkaitan dengan gadai yang timbul dari sebuah perjanjian utang-piutang, yang mana barang jaminan tersebut merupakan perjanjian tambahan guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan dan disepakati sebelumnya diantara kreditur dan debitur. Jaminan yang digunakan dalam gadai yaitu seluruh barang bergerak, yang terdiri dari:
1.      Benda bergerak berwujud, yaitu benda yang dapat dipindahpindahkan. Misalnya : televisi, emas, dvd, dan lain-lain.
2.      Benda bergerak yang tidak berwujud. Misalnya : surat-surat berharga seperti saham, obligasi, wesel, cek, aksep, dan promes. Sebagai suatu bentuk jaminan yang diberikan atas benda bergerak yang mensyaratkan pengeluaran benda gadai dari tangan pemilik benda yang digadaikan tersebut.
B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan gadai?
2.      Apa yang dimaksud dengan jaminan fidusia?


BAB II
GADAI
1. Pengertian Gadai
Gadai diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUHPerdata. Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, pengertian gadai adalah:
Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan. Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa unsur pokok, yaitu:
1)      Gadai lahir karena perjanjian penyerahan kekuasaan atas  barang gadai kepada kreditor pemegang gadai;
2)      Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor atau orang lain atas nama debitor;
3)      Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang bergerak, baik bertubuh maupun tidak bertubuh;
4)      Kreditor pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barang gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor  lainnya.
2.   Dasar Hukum Gadai
Dasar Hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini :
a.    Pasal 1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
b.    Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW;
c.    Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
d.   Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah   Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
e.    Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Di Indonesia lembaga yang ditunjuk untuk menerima dan menyalurkan kredit berdasarkan hukum gadai adalah lembaga pegadaian.
3. Sejarah Gadai
Usaha gadai di Indonesia berawal dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOCyang bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta gerak. Dalam perkembangannya, sebagai bentuk usaha pegadaian banyak mengalami perubahan demikian pula dengan status pengelolaannya telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan perubahan peraturan yang berlaku. Berdasarkan Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, maka pada tanggal 1 April 1901 berdirilah Kantor Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah. Selanjutnya berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1961 No.178,berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Pegadain. Dalam perkembangannya, pada tahun 1969 keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia No.9 tahun 1969 yang mengatur bentuk-bentuk usaha negara menjadi tiga bentuk perusahaan yaitu Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Perseroan (PERSERO).Sejalan dengan ini, maka Perusahaan Negara Pegadaian berubah lagi statusnya menjadi Perusahaan Jawatan (PERJAN) Pegadaian (PERUM Pegadaian No.7 tanggal 11 Maret 1969).
Sejak saat itu, kegiatan perusahaan terus berjalan dan aset atau kekayaannya pun bertambah. Namun seiring dengan perubahan zaman, Pegadaian dihadapkan pada kebutuhan untuk berubah pula, dalam arti untuk lebih meningkatkan kinerjanya, tumbuh lebih besar lagi dan lebih profesional dalam memberikan keleluasan pengelolaan bagi manajemen dalam mengembangkan usahanya, Pemerintah meningkatkan status Pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi Perusahaan Umum (PERUM) yang dituangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 April 1990. Perubahan dari PERJAN ke PERUM ini merupakan tonggak penting dalam pengelolaan Pegadaian yang memungkinkan terciptanya pertumbuhan Pegadaianyang bukan saja makin meningkatkan kredit yang disalurkan, nasabah yang dilayani pendapatan dan laba perusahaan.


4.  Subjek dan Objek Gadai
a.   Objek Hukum Hak Gadai
Apabila ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (1), Pasal 1152, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata, jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak gadai sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor : 4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran tersebut tidak semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebani dengan gadai, terdapat jenis kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia.
Kebendaan bergerak di sini dapat kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh (lichamelijk) dan kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk) berupa piutang atau tagihan-tagihan dalam bentuk surat berharga.
Dewasa ini lembaga gadai masih berjalan terutama pada lembaga pegadaian. Dalam perjanjian kredit perbankan, lembaga gadai tidak begitu popular, sudah jarang ditemukan bagi benda berwujud. Akan tetapi penggunaan gadai bagi benda tidak berwujud seperti surat-surat berharga dan saham-saham mulai banyak digunakan pada beberapa bank. Peningkatan penjaminan saham terjadi seiring dengan pesatnya perkembangan bursa saham di Indonesia. Didalam praktik sering terjadi penjaminan saham yang belum dicetak (not printed) dan yang menjadi bukti yang disimpan oleh pihak bank itu bukti penjaminan sejumlah saham yang berupa resipis atau surat pemerimaan atau kuitansi saja.
Pada dasarnya semua kebendaan bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan pinjaman atau kredit gadai pada lembaga pegadaian. Kredit gadai adalah pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah ditetapkan oleh perusahaan Pegadaian.
Dewasa ini barang-barang yang pada umumnya dapat diterima sebagai jaminan kredit gadai oleh Perum Pegadaian diantaranya :
1)      Barang-barang perhiasan (emas, perak, intan, berlian, mutiara, platina, arloji, dan jam);
2)      Barang-barang kendaraan (sepeda, sepeda motor, mobil, bajay, bemo, becak);
3)      Barang-barang elektronika (televisi, radio, radio tape, video, computer, kulkas, tustel, mesin tik);
4)      Barang-barang mesin (mesin jahit, mesin kapal motor); dan
5)      Barang-barang perkakas rumah tangga (barang tekstil, barang pecah belah).
Dimungkinkan gadai atas kebendaan bergerak yang tidak berwujud dinyatakan dalam ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2), Pasal 1152 dan Pasal 1153 KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal tersebut, dapat diketahui bahwa kebendaan bergerak yang tidak berwujud berupa hak tagihan atau piutang, surat-surat berharga, dapat pula digadaikan sebagai jaminan utang.
b.   Subjek Hukum Hak Gadai
Subjek gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai (pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga. Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
1)        Orang atau badan hukum;
2)        Memberikan jaminan berupa benda bergerak;
3)        Kepada penerima gadai;
4)        Adanya pinjaman uang;
Penerima gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini didirikan berdasarkan :
1)      Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
2)      Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan; dan
3)      Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Sifat usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan perum ini adalah :
1)      Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat, terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar hukum gadai dan jasa dibidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
2)      Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap, praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Usaha yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang (kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut dengan asas inbezitzeteling.
5. Hak dan kewajiban Penerima Gadai dan Pemberi Gadai :
Hak penerima Gadai (pasal 1155 KUHPerdata)
1)      Menerima angsuran pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan waktu yang ditentukan
2)      Menjual barang gadai, jika pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya setelah lampau waktu atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janjinya.
Kewajiban Penerima Gadai (Pasal 1154, 1156, 1157 KUHPerdata) :
1)      Menjaga barang yang digadaikan sebaik-baiknya
2)      Tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun pemberi gadai wanprestasi.
3)      Memberitahukan kepada pemberi gadai (debitur) tentang pemindahan barang-barang gadai.
4)      Bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh itu terjadi akibat kelalaiannya.
Hak Pemberi Gadai (Pasal 1155 KUHPerdata) :
1)      Menerima Uang gadai dari penerima gadai
2)      Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah dilunasinya.
3)      Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi hutang-hutangnya.

Kewajiban Pemberi Gadai (Pasal 1154 KUHPerdata) :
1)      Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai
2)      Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai
3)      Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang gadai.
6.  Terjadinya Hak Gadai
Untuk terjadinya hak gadai harus memenuhi dua unsur mutlak, pertama, harus adanya perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi gadai (debitur sendiri atau pihak ketiga) dan pemegang gadai (kreditur). Mengenai bentuk hubungan hukum perjanjian gadai ini tidak ditentukan, apakah dibuat tertulis ataukah cukup dengan lisan saja; hal itu hanya diserahkan kepada para pihak. Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan dalam akta notaris maupun cukup dengan akta dibawah tangan saja. Namun yang terpenting, bahwa perjanjian gadai itu dapat dibuktikan adanya. Ketentuan dalam pasal 1151 KUH Perdata menyatakan persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan pembuktian persetujuan pokoknya. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1151 KUH Perdata tersebut, perjanjian gadai tidak dipersyaratkan dalam bentuk tertentu, dapat saja dibuat dengan mengikuti bentuk perjanjian pokoknya, yang umumnya perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit bank, pengakuan hutang dengan gadai barang, jadi bisa tertulis atau secara lisan saja.
Syarat kedua yang mesti ada, yaitu adanya penyerahan kebendaan yang digadaikan tersebut dari tangan debitur (pemberi gadai) kepada tangan kreditur (pemegang gadai). Dengan kata lain, kebendaan gadainya harus berada dibawah penguasaan kreditur (pemegang gadainya), sehingga perjanjian gadai yang tidak dilanjutkan dengan penyerahan kebendaan gadainya kepada kreditur (pemegang gadai) yang kemudian berada dalam penguasaan kreditur (pemegang gadai), maka hak gadainya diancam tidak sah atau hal itu bukan suatu gadai, dengan konsekuensi tidak melahirkan hak gadai.
7.  HAPUSNYA GADAI
Hapusnya gadai telah ditentukan didalam pasal 1152 KUHPerdata dan Surat Bukti Kredit (SBK).
KUHPerdata Pasal 1152 ditentukan 2 cara hapusnya hak gadai, yaitu :
1)      Barang Gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai, dan
2)      Hilangnya barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai surat bukti kredit.

BAB III
JAMINAN FIDUSIA
1.      Pengertian Fidusia dan Jaminan Fidusia
Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan. Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership. 
Sebelum keluar UU 42 tahun 1999 yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang, peralatan mesin dan kendaraan bermotor dengan keluarnya UU no 42 tahun 1999 mak objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas.
Pengertian Fidusia sesuai UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:
1)      Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2)      Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Menurut DR A Hamsah dan Senjun Manulang, Fidusia adalah : Suatu cara pengoperan hak milik dari pemiliknya (Debitur) berdasarkan adanya perjanjian pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan hanya haknya saja secara Yuridis Levering dan hanya dimiliki oleh kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan hutang debitur)sedang kan barangnya tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan lagi sebagai eigenaar (pemilik) maupun beziter (menguasai) melainkan hanya sebagai Detentor atau Holder dan atas nama kreditur Eigenaar. Secara ringkas yaitu suatu cara pengoperan hak milik dari Debitur kepada kreditur berdasarkan adanya perjanjian hutang piutang, yang diserahkan hanya haknya saja secara Yuridise Levering  sedang kan barangnya tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan lagi sebagai eigenaar (pemilik) maupun beziter (menguasai) melainkan hanya sebagai Detentor atau Holder dan atas nama kreditur Eigenaar.
Jaminan fidusia merupakan jaminan perseorangan, dimana antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia saling memberikan kepercayaan, Pemberi Fidusia menyerahkan hak kepemilikannya kepada Penerima Fidusia, namun Penerima Fidusia tidak langsung memiliki objek yang menjadi jaminan fidusia tersebut yang diserahkan oleh Pemberi Fidusia, sehingga jaminan fidusia merupakan suatu teori jaminan.
Fidusia digunakan untuk benda bergerak maupun tidak bergerak. Jaminan fidusia lahir karena pada prakteknya ada hal-hal yang tidak dapat terakomodasi dengan “hipotik” dan “gadai”, misalnya saja dari bidang-bidang usaha seperti rumah makan, kafe, dan lain-lain. Sedangkan untuk benda tidak bergerak, yang menjadi objeknya adalah benda yang bukan merupakan objek hak tanggungan.

2. DASAR HUKUM JAMINAN FIDUSIA
·         Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia/ UUJF
·         PP Nimor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fiducia
·          Keppres No. 139 Tahun 2000 Tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fiducia Di Setiap Ibu Kota Profinsi Di Wilayah Negara Republik Indonesia.
3)      SEJARAH JAMINANFIDUSIA
Terjadinya krisis dalam bidang hukum jaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19, mengakibatkan terjadinya pertentangan berbagai kepentingan. Krisis mana ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertanian yang melanda negara Belanda bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Seperti telah disebut di atas kemudian lahirlah lembaga jaminan fidusia yang keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi.
Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57).
Peraturan ini mengatur mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada dalam kekuasaan debitor.
Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Kasusnya adalah sebagai berikut :
Pedro Clignett meminjam uang dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan jaminan itu kepada BPM.
Pada waktu itu, karena sudah terbiasa dengan hukum adat, penyerahan secara constitutum possessorium sulit dibayangkan apalagi dimengerti dan dipahami oleh orang Indonesia. Dalam prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang-barang itu terletak dan pada saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan atas nama penerima fidusia sebagai penyimpan.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum posses-sorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotek. Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak.
Namun dalam praktek kemudian orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Apalagi dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 tahun 1960) perbedaan antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena Undang-undang tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objeknya adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.

4)      SUBYEK DAN OBYEK JAMNIQNAN FIDUSIA
·         Subyek Jaminan Fidusia
Subyek Jaminan Fidusia adalah pemberi dan penerima Jaminan Fidusia.45 Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan/korporasi pemilik benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia (Pasal 1 butir 5 UUF), sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan/korporasi yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 butir 6 UUF).

·         Obyek Jaminan Fidusia
Obyek Jaminan Fidusia adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud, yang terdaftar, tidak terdaftar, yang bergerak, tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotek (Pasal 1 butir 4 UUF). Mengenai obyek jaminan fidusia dalam Pasal 10 UUF disebutkan bahwa :
Kecuali diperjanjikan lain :
1)      Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Yang dimaksud dengan “hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan fidusia” adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda yang dibebani jaminan fidusia.
2)      Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal benda yang menjadi obyek fidusia diasuransikan.

5)      Lahirnya Fidusia
Fidusia lahir dalam praktek hukum yang dituntun oleh yurisprundensi, baik yurisprudensi di negeri Belanda maupun yurisprudensi di Indonesia. Sebagai pranata hukum yang lahir dari praktek, dan tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan perundang-undangan, maka tidak terdapat pengaturan dari segi prosedural dan proses. Sebab yurisprudensi tentang fidusia sampai mengatur tentang prosedural dan proses tersebut. Karena itu tidak mengherankan jika kewajiban pendaftaran sebagai salah satu mata rantai dari prosedur lahirnya fidusia tidak diatur, sehingga tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan fidusia.
Ketidakadaan kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktek sebagai kelemahan bagi pranata hukum fidusia. Sebab disamping menimbulkan ketidak-pastian hukum, absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut menjadikan jaminan fidusia tidak memenuhi unsur publisitas, sehingga susah dikontrol. Hal ini dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya fidusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang fidusia tanpa sepengetahuan kreditur, dan lain-lain.
Mengingat betapa pentingnya fungsi pendaftaran bagi suatu jaminan hutang termasuk jaminan fidusia ini, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia kemudian mengaturnya dan mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan pada pejabat yang berwenang. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah segera menindaklanjuti prosedur maupun tata laksana pendaftaran jaminan fidusia, yaitu dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.68 tahun 2000 tengan Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia. Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pendaftaran fidusia merupakan satu faktor penting yang harus diperhatikan dalam rangka lebih menciptakan kepastian hukum bagi para kreditur, dan untuk menghindari pemanfaatan kondisi ketidakadaan hukum yang mengatur oleh para debitur yang beritikad tidak baik.
ketentuan Pasal 11 dan Penjelasan Undang-Undang Jaminan Fidusia, antara lain ditentukan dan dijelaskan bahwa:
1)      Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan.
2)      Pendaftaran mencakup benda yang berada di dalam maupun di luar wilayah negara RI.
3)      Pendaftaran benda yang dibebani dengan jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia.
4)      Pendaftaran dilakukan dengan mengajukan suatu permohonan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan disertai surat pernyataan pendaftaran jaminan fidusia. Apakah tidak berlebihan kalai sudah ada permohonan pendaftaran masih harus disertai dengan surat pernyataan pendaftaran. Surat ini penting untuk pegangan, sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan sertifikat jaminan fidusia.
5)      Permohonan dilakukan oleh penerima fidusia, yaitu hak penerima fidusia untuk mendaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia adalah hak yang sudah diberikan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Namun ternyata dalam blanko Akta Jaminan Fidusia yang dipakai oleh salah satu bank, di dalamnya diperjanjikan suatu kuasa dari pemberi fidusia kepada penerima fidusia untuk melaksanakan pendaftaran.
Ketentuan tersebut di atas patut dan logis karena bukankah yang paling berkepentingan untuk itu adalah kreditur penerima fidusia. Adalah terserah kepadanya, apakah ia merasa cukup aman dengan memegang akta pengikatan fidusia saja, ataukah ia menghendaki jaminan yang lebih kuat dan karenanya ia mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia.
Dalam sertifikat jaminan fidusia dicantumkan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan pihak yang berhak mendaftarkan, selain daripada penerima fidusia sendiri, adalah kuasanya atau wakilnya, kiranya tidak perlu diatur dalam Undang-Undang Jaminan Fidusia. Yang demikian itu adalah sudah sesuai dengan asas hukum umum yang berlaku. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, namun sudah bisa diduga, bahwa pembedaan antara kuasa dan wakil adalah, bahwa kewenangan mewakili prinsipal dari seorang kuasa didasarkan atas kehendak dari prinsipal, yang bisa secara lisan maupun dituangkan dalam suatu akta, sedang pada wakil kewenangan itu didasarkan atas ketentuan undang-undang dan/atau anggaran dasar seperti pada Direksi suatu Perseroan Terbatas (vide Pasal 82 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas).
Adapun data-data yang didaftarkan dalam fidusia ini, ditentukan di dalam Pasal 13 ayat 2 Undang-Undang Jaminan Fidusia disebutkan apa saja yang harus termuat dalam pernyataan pendaftaran, yang kalau kita simak, ternyata sesuai dan karenanya sudah termuat dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia, mengenai apa yang harus dimuat dalam akta jaminan fidusia, dan Pasal 5 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang mengharuskan penuangan penjaminan fidusia dalam suatu akta otentik. Karena dalam akta otentik selalu memuat tanggal dan nomor akta, nama dan tempat kedudukan notaris yang bersangkutan, maka sebenarnya cukup dikatakan, bahwa pernyataan pendaftaran harus dilengkapi dengan salinan akta otentik penjaminan fidusia. Hal ini berkaitan dengan masalah pendaftaran ikatan jaminan fidusia, bukan benda jaminan fidusia, sehingga semua klausula yang termuat dalam perjanjian penjaminan fidusia, turut terdaftar, agar dengan demikian mempunyai daya mengikat pihak ketiga.
Sedangkan jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Jaminan Fidusia, lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena pendaftaran dalam buku daftar dilakukan pada hari penerimaan permohonan, maka tanggal lahir jaminan fidusia adalah juga tanggal terimanya permohonan pendaftaran. Karena pada prinsipnya tidak bisa ada fidusia 2 (dua) kali berturut-turut atas benda jaminan fidusia yang sama, maka tanggal pendaftaran tersebut adalah juga tanggal lahirnya jaminan fidusia, mempunyai arti yang penting sekali, dalam hal debitur pemberi fidusia dengan melanggar ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yaitu menfidusiakan benda jaminan fidusia 2 (dua) kali atau lebih kepada 2 (dua) atau lebih kreditur yang berlainan.
Hal yang dapat menimbulkan kesulitan bagi kreditur terhadap ketentuan Undang-Undang Jaminan Fidusia. Pasal 11 UU dapat menimbulkan kerancuan bila dikaitkan dengan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang berbunyi “pendaftaran jaminan fidusia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kerancuan yang timbul dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa yang wajib didaftarkan adalah jaminan fidusia. Sehingga di sini timbul pertanyaan bahwa sebenarnya yang menjadi obyek jaminan fidusia itu didaftarkan atau tidak.
Lebih lanjut tentang obyek jaminan fidusia ini adalah, adanya bahaya sehubungan dengan diakuinya pemberian jaminan dengan “costitutum possessorium” bisa muncul adalah, bahwa seorang debitur yang merasa, bahwa ia tidak dapat memenuhi kewajiban perikatannya sebagaimana mestinya dan sudah melihat gejala akan datangnya sita jaminan atas harta miliknya, dengan mudah bisa mengatakan, bahwa harta miliknya telah dijaminkan melalui penyerahan secara kepercayaan kepada seorang anggota keluarganya, dan barang-barang yang ada padanya ia pegang sebagai peminjam-pakai dari krediturnya.
Jadi di sini seorang debitur yang telah menjaminkan benda miliknya secara kepercayaan dengan tetap memegang benda tersebut sebagai peminjam pakai, kemudian, untuk menghindari eksekusi pura-pura menjaminkan lagi secara kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk-bentuk lainnya seperti salah satunya actio pauliana.
Sedangkan tujuan dari pendaftaran adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada penerima dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.
Melalui sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia sehingga memperoleh sifat sebagai “hak kebendaan” (right in rem) yang menyandang asas “droit de suit”, hak jaminan itu mengikuti bendanya, kecuali terhadap benda persediaan (inventory goods).
Selanjutnya, berbicara tentang pernyataan pendaftaran fidusia dan pernyataan perubahan disebutkan, bahwa permohonan pendaftaran fidusia disampaikan ke Kantor Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan suatu naskah yang disebut dengan Pernyataan Pendaftaran Fidusia, dalam hal ini, karena yang disampaikan adalah pernyataan pendaftaran, maka Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bersifat konstitutif dalam arti bahwa dia tidak melakukan penilaian atas kebenaran atau menyatakan/menjamin kebenaran dari data dalam pernyataan pendaftaran. Akan tetapi, Kantor Pendaftaran Fidusia hanya berfungsi sebagai instansi yang melakukan pengecekan administrasi saja.


Dalam pernyataan pendaftaran fidusia dimuat hal-hal sebagai berikut:
1)            Identitas pihak pemberi fidusia.
2)            Identitas pihak penerima fidusia.
3)            Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
4)            Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia.
5)            Data perjanjian pokok (perjanjian hutang) yang dijamin dengan fidusia.
6)            Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
7)            Nilai penjaminan.
8)            Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
Selanjutnya sertifikat jaminan fidusia dan kekuatan pembuktiannya dapat dikatakan, bahwa sebagai bukti penerima fidusia memiliki hak fidusia tersebut, maka kepadanya diserahkan dokumen-dokumen yang disebut dengan Sertifikat Jaminan Fidusia. Ketentuan-ketentuan mengenai Sertifikat Jaminan Fidusia ini adalah sebagai berikut:
1)      Diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.
2)      Sertifikat tersebut diserahkan kepada penerima fidusia.
3)      Tanggal dari sertifikat tersebut adalah sama dengan tanggal penerimaan permohonan fidusia.
4)      Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan salinan dari Buku Daftar Fidusia.
5)      Isi dari Sertifikat Jaminan Fidusia antara lain adalah hal-hal yang disebut dalam pernyataan fidusia, yaitu sebagai berikut:

·         Identitas pihak pemberi fidusia.
·         Identitas pihak penerima fidusia.
·         Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
·         Nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia.
·         Data perjanjian pokok (perjanjian hutang) yang dijamin dengan fidusia.
·         Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.
·         Nilai penjaminan.
6)      Pada Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan pula irah-irah dengan tulisan: Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
7)      Dengan demikian Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yakni mempunyai kekuatan yang sama dengan kekuatan dari suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap.
8)      jika terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia
9)       jika ada pengajuan permohonan pendaftaran tersebut, maka:
·         Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat pada buku daftar fidusia tentang perubahan tersebut.
·         Pencatatan tersebut dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
·         Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan pernyataan perubahan.
·         Pernyataan perubahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.
Tentu saja karena Sertifikat Jaminan Fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan
berwenang, dalam hal ini Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat sebagai suatu akta otentik, dan hanya Kantor Pendaftaran Fidusia sebagai satu-satunya yang berwenang mengeluarkan sertifikat penjaminan fidusia tersebut. Karena itu pula, Jika ada alat bukti Sertifikat Jaminan Fidusia, dan sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya fidusia dengan hanya mempertunjukkan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris. Sebab, menurut Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Penjaminan Fidusia, lembaga fidusia dianggap belum lahir. Lahirnya fidusia tersebut adalah pada saat didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.

E. Pengalihan dan Hapusnya Fidusia
1. Pengalihan hak atas piutang
Piutang pada prinsipnya dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cessie piutang. Dalam hal ini, pengalihan piutang tersebut haruslah dibuat dalam akta cessie (baik notarial ataupun di bawah tangan) sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata. Permasalahan timbul bilamana piutang yang dijaminkan dengan fidusia beralih kepada pihak lain.

Pasal 19 Undang-Undang Jaminan Fidusia menentukan bahwa jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka fidusia yang menjamin hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan fidusia. Jadi, pihak penerima fidusia beralih secara hukum kepada penerima pengalihan piutang tersebut.
Hal ini juga sesuai dengan prinsip perjanjian jaminan fidusia sebagai jaminan yang assesoir, yaitu mengikuti perjanjian piutang (perjanjian pokok). Hanya saja, ada kewajiban bagi penerima fidusia yang menerima pengalihan piutang, yakni adanya kewajiban untuk mendaftarkan pengalihan piutang dan oleh karenanya juga pengalihan fidusia kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
2.      Pengalihan benda objek jaminan fidusia
Prinsip dari jaminan fidusia adalah bahwa jaminan fidusia tersebut mengikuti kemanapun benda jaminan tersebut berada. Jadi, seandainya karena alasan apapun. Benda jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka fidusia atas benda itu tetap saja berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia.
Ini memperlihatkan ambivalensi dari jaminan fidusia. Sebab, disatu pihak dengan jaminan fidusia tersebut, hak kepemilikan dianggap sudah berpindah secara constitutum possessorium kepada penerima fidusia, tetapi dilain pihak hak kepemilikan tersebut justru tetap berada ditangan si pemberi fidusia, sehingga pihak pemberi fidusia tetap dapat mengalihkan fidusia, walaupun harus dengan persetujuan pihak penerima fidusia (Pasal 23). Yang terjadi adalah hanya pemberian jaminan saja.
Apabila konsekuen bahwa hak miliknya sudah berpindah dengan terjadinya fidusia tersebut, tentunya benda objek fidusia tersebut tidak mungkin beralih atau dialihkan oleh pihak pemberi fidusia, walaupun dengan persetujuan tertulis dari pihak penerima fidusia (lihat Pasal 23), karena bagaimana benda tersebut dapat beralih atau dialihkan, jika benda tersebut sudah dialihkan dan bukan miliknya lagi. Akan tetapi, berbeda dengan halnya dalam pengalihan piutang yang dijamin oleh jaminan fidusia yang tentunya untuk hal ini dimungkinkan oleh undang-undang lewat mekanisme cessie piutang, dan karenanya fidusia pun ikut beralih. Hal ini wajar, mengingat yang mengalihkan piutang dan fidusia itu bukanlah pihak pemberi fidusia tetapi pihak penerima fidusia, kepada siapa memang sudah diserahkan hak atas benda jaminan fidusia secaraconstitutum posssessorium.
3. Benda persedian sebagai objek fidusia
Ada kekecualian dari prinsip beralihnya fidusia jika benda objek Jaminan Fidusia dialihkan, yaitu jika benda tersebut merupakan barang persedian (stock perdagangan). Dalam hal ini, sesuai dengan sifat benda tersebut yang memang selalu beralih-alih, maka beralihnya benda persedian tersebut tidak menyebabkan beralihnya fidusia yang bersangkutan. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan Fidusia, yang menyatakan bahwa:
Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persedian yang menjadi objek Jaminan Fidusia.
3.      Pengalihan objek jaminan fidusia oleh pemberi fidusia
Sebagaimana diketahui bahwa pada prinsipnya pemberi fidusia tidak boleh mengalihkan benda Objek Jaminan Fidusia mengingat Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 masih menganggap ada pengalihan hak (secara constitutum posessorium) atas benda Jaminan Fidusia kepada pihak penerima fidusia. Karena itu, pihak pemberi fidusia tidak berwenang lagi untuk mengalihkan benda tersebut. Kekecualian atas larangan tersebut dibuka manakala hal tersebut dibenarkan secara tertulis oleh pihak penerima fidusia (Pasal 23) atau jika benda Objek Jaminan Fidusia adalah benda persediaan (Pasal 20). Di mana dalam hal ini pemberi fidusia masih dapat mengalihkan benda Objek Jaminan Fidusia menurut cara-cara prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan.
Akan tetapi, untuk melindungi pihak penerima fidusia sebagai yang dijaminkan hutangnya, dalam hal ini pemegang fidusia mengalihkan benda persedian, maka pemberi fidusia diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan benda yang setara. Dalam hal ini setara dalam arti jenis maupun nilainya.
Namun demikian, apabila terjadi wanprestasi oleh debitur, maka:
1)      Benda persediaan yang menjadi objek fidusia tidak dapat dialihkan lagi, dan
2)      Hasil pengalihan dan/atau tagihan yang timbul karena pengalihan, demi hukum menjadi Objek Jaminan Fidusia pengganti dari Objek Jaminan Fidusia yang telah dialihkan. Proses penyetoran pengalihan barang persedian sebagai Jaminan Fidusia ini bila terjadi wanprestasi disebut dengan proses “Kristalisasi”.

Manakala benda persediaan objek jaminan fidusia tersebut dialihkan kepada pihak ketiga, maka pembeli benda persediaan tersebut terbebas dari tuntutan, meskipun pembeli tersebut mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia tersebut. Satu dan lain hal dengan mengingat bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut sesuai dengan hargan pasar. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa pemegang benda bergerak dianggap oleh hukum sebagai pemegang hak, sehingga pembeli atas benda tersebut haruslah dilindungi (lihat Pasal 22 Undang-undang Jaminan Fidusia juncto Pasal 1977 KUHPerdata).
Terhadap pembebanan fidusia yang berobjekkan barang persediaan ini, dalam hukum Anglo Saxon dikenal dengan nama floating Lienatau Floating Charge. Yang dimaksudkan adalah an equitable charge on the assets for the time being of a going concern (Bedi, H.L., dan Hardikar, V.K., 1997:138).
Disebut dengan “floating” (mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi objek Jaminan berubah-ubah sesuai dengan persediaan stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari benda tersebut.33
Sifat mengambang (floating) dari floating charges ini berubah menjadi spesifik (specific charges) manakala terjadi suatu tindakan yang disebut dengan Kristalisasi (crystalisation). Sebagai perbandingan, di Inggris tindakan kristalisasi ini terjadi apabila terjadi keadaan-keadaan sebagai berikut:
1)      Pengumuman pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan.
2)      jika terjadi wanprestasi atas surat berharga yang di jamin dengan floating charges.
3)      Jika diangkat reciever (kurator) oleh pengadilan.








BAB IV
PENUTUP
Dari makalah tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa gadai adalah Suatu hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.
Jaminan fidusia merupakan jaminan perseorangan, dimana antara Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia saling memberikan kepercayaan, Pemberi Fidusia menyerahkan hak kepemilikannya kepada Penerima Fidusia, namun Penerima Fidusia tidak langsung memiliki objek yang menjadi jaminan fidusia tersebut yang diserahkan oleh Pemberi Fidusia, sehingga jaminan fidusia merupakan suatu teori jaminan.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar