BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah
satu lembaga non perbankan yang menyediakan kredit adalah Pegadaian. Pegadaian
merupakan sebuah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di Indonesia yang usaha
intinya adalah bidang jasa penyaluran kredit kepada masyarakat atas dasar hukum
gadai. Lembaga pegadaian menawarkan peminjaman dengan system gadai. Jadi
masyarakat tidak perlu takut kehilangan barang-barangnya.
Lembaga
pegadaian memiliki kemudahan antara lain prosedur dan syarat-syarat
administrasi yang mudah dan sederhana, dimana nasabah cukup memberikan
keterangan-keterangan singkat tentang identitasnya dan tujuan penggunaan
kredit, waktu yang relatif singkat dana pinjaman sudah cair dan bunga relatif
rendah.
Masalah
jaminan utang berkaitan dengan gadai yang timbul dari sebuah perjanjian
utang-piutang, yang mana barang jaminan tersebut merupakan perjanjian tambahan
guna menjamin dilunasinya kewajiban debitur pada waktu yang telah ditentukan
dan disepakati sebelumnya diantara kreditur dan debitur. Jaminan yang digunakan
dalam gadai yaitu seluruh barang bergerak, yang terdiri dari:
1.
Benda bergerak berwujud, yaitu benda yang
dapat dipindahpindahkan. Misalnya : televisi, emas, dvd, dan lain-lain.
2.
Benda bergerak yang tidak berwujud. Misalnya :
surat-surat berharga seperti saham, obligasi, wesel, cek, aksep, dan promes.
Sebagai suatu bentuk jaminan yang diberikan atas benda bergerak yang
mensyaratkan pengeluaran benda gadai dari tangan pemilik benda yang digadaikan
tersebut.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan gadai?
2.
Apa yang dimaksud dengan jaminan fidusia?
BAB
II
GADAI
1. Pengertian
Gadai
Gadai
diatur dalam Buku II Titel 20 Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1161 KUHPerdata.
Menurut Pasal 1150 KUHPerdata, pengertian gadai adalah:
Suatu
hak yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh
maupun tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain
atas namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada
kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana
harus didahulukan. Dari definisi gadai tersebut terkandung adanya beberapa
unsur pokok, yaitu:
1)
Gadai lahir karena perjanjian penyerahan
kekuasaan atas barang gadai kepada kreditor pemegang gadai;
2)
Penyerahan itu dapat dilakukan oleh debitor
atau orang lain atas nama debitor;
3)
Barang yang menjadi obyek gadai hanya barang
bergerak, baik bertubuh maupun tidak bertubuh;
4)
Kreditor pemegang gadai berhak untuk
mengambil pelunasan dari barang gadai lebih dahulu daripada kreditor-kreditor
lainnya.
2. Dasar Hukum Gadai
Dasar
Hukum gadai dapat dilihat pada peraturan perundang-undangan berikut ini :
a. Pasal
1150 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1160 Buku II KUH Perdata;
b. Artikel
1196 vv, titel 19 Buku III NBW;
c. Peraturan
Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
d. Peraturan
Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan
Jawatan; dan
e. Peraturan
Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Di
Indonesia lembaga yang ditunjuk untuk menerima dan menyalurkan kredit
berdasarkan hukum gadai adalah lembaga pegadaian.
3. Sejarah Gadai
Usaha gadai di Indonesia berawal
dari berdirinya Bank Van Leening di zaman VOCyang
bertugas memberikan pinjaman uang tunai kepada masyarakat dengan harta gerak.
Dalam perkembangannya, sebagai bentuk usaha pegadaian banyak mengalami
perubahan demikian pula dengan status pengelolaannya telah mengalami beberapa
kali perubahan seiring dengan perubahan peraturan yang berlaku. Berdasarkan
Staatblad 1901 No.131 tanggal 12 Maret 1901, maka pada tanggal 1
April 1901 berdirilah Kantor
Pegadaian yang berarti menjadi Lembaga Resmi Pemerintah.
Selanjutnya berdasarkan peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 1961
No.178,berubah lagi menjadi Perusahaan Negara Pegadain. Dalam perkembangannya,
pada tahun 1969 keluarlah Undang-Undang Republik Indonesia No.9 tahun 1969 yang
mengatur bentuk-bentuk usaha negara menjadi tiga bentuk perusahaan yaitu
Perusahaan Jawatan (PERJAN), Perusahaan Umum (PERUM), dan Perusahaan Perseroan
(PERSERO).Sejalan
dengan ini, maka Perusahaan Negara Pegadaian berubah lagi statusnya menjadi
Perusahaan Jawatan (PERJAN)
Pegadaian (PERUM Pegadaian No.7
tanggal 11 Maret 1969).
Sejak
saat itu, kegiatan perusahaan terus berjalan dan aset atau kekayaannya pun
bertambah. Namun seiring dengan perubahan zaman, Pegadaian dihadapkan pada
kebutuhan untuk berubah pula, dalam arti untuk lebih meningkatkan kinerjanya,
tumbuh lebih besar lagi dan lebih profesional dalam memberikan keleluasan
pengelolaan bagi manajemen dalam mengembangkan usahanya, Pemerintah
meningkatkan status Pegadaian dari Perusahaan Jawatan (PERJAN) menjadi
Perusahaan Umum (PERUM)
yang dituangkan dalam peraturan Pemerintah No. 10 April 1990. Perubahan dari PERJAN
ke PERUM ini merupakan tonggak penting dalam pengelolaan Pegadaian yang
memungkinkan terciptanya pertumbuhan Pegadaianyang bukan saja makin
meningkatkan kredit yang disalurkan, nasabah yang dilayani pendapatan dan laba
perusahaan.
4. Subjek
dan Objek Gadai
a. Objek
Hukum Hak Gadai
Apabila
ketentuan dalam Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal
1152 ayat (1), Pasal 1152, Pasal 1153 dan Pasal 1158 ayat (1) KUH Perdata,
jelas pada dasarnya semua kebendaan bergerak dapat menjadi objek hukum hak
gadai sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor :
4/248/UPPK/PK tanggal 16 Maret 1972. Namun menurut Surat Edaran tersebut tidak
semua jenis kebendaan bergerak dapat dibebani dengan gadai, terdapat jenis
kebendaan bergerak lainnya yang dibebani dengan jaminan fidusia.
Kebendaan
bergerak di sini dapat kebendaan bergerak yang berwujud atau bertubuh
(lichamelijk) dan kebendaan bergerak yang tidak berwujud atau bertubuh (onlichamelijk) berupa piutang atau tagihan-tagihan
dalam bentuk surat berharga.
Dewasa
ini lembaga gadai masih berjalan terutama pada lembaga pegadaian. Dalam
perjanjian kredit perbankan, lembaga gadai tidak begitu popular, sudah jarang
ditemukan bagi benda berwujud. Akan tetapi penggunaan gadai bagi benda tidak
berwujud seperti surat-surat berharga dan saham-saham mulai banyak digunakan
pada beberapa bank. Peningkatan penjaminan saham terjadi seiring dengan
pesatnya perkembangan bursa saham di Indonesia. Didalam praktik sering terjadi
penjaminan saham yang belum dicetak (not printed) dan
yang menjadi bukti yang disimpan oleh pihak bank itu bukti penjaminan sejumlah
saham yang berupa resipis atau surat pemerimaan atau kuitansi saja.
Pada
dasarnya semua kebendaan bergerak yang berwujud dapat dijadikan sebagai jaminan
pinjaman atau kredit gadai pada lembaga pegadaian. Kredit gadai adalah
pemberian pinjaman (kredit) dalam jangka waktu tertentu
kepada nasabah atas dasar hukum gadai dan persyaratan tertentu yang telah
ditetapkan oleh perusahaan Pegadaian.
Dewasa
ini barang-barang yang pada umumnya dapat diterima sebagai jaminan kredit gadai
oleh Perum Pegadaian diantaranya :
1)
Barang-barang perhiasan (emas, perak, intan,
berlian, mutiara, platina, arloji, dan jam);
2)
Barang-barang kendaraan (sepeda, sepeda
motor, mobil, bajay, bemo, becak);
3)
Barang-barang elektronika (televisi, radio,
radio tape, video, computer, kulkas, tustel, mesin tik);
4)
Barang-barang mesin (mesin jahit, mesin kapal
motor); dan
5)
Barang-barang perkakas rumah tangga (barang
tekstil, barang pecah belah).
Dimungkinkan
gadai atas kebendaan bergerak yang tidak berwujud dinyatakan dalam ketentuan
Pasal 1150 KUH Perdata dihubungkan dengan ketentuan dalam Pasal 1152 ayat (2),
Pasal 1152 dan Pasal 1153 KUH Perdata. Dari ketentuan Pasal tersebut, dapat
diketahui bahwa kebendaan bergerak yang tidak berwujud berupa hak tagihan atau
piutang, surat-surat berharga, dapat pula digadaikan sebagai jaminan utang.
b. Subjek
Hukum Hak Gadai
Subjek
gadai terdiri atas dua pihak, yaitu pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai
(pandnemer). Pandgever adalah orang atau badan hukum
yang memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada
penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak ketiga.
Unsur-unsur pemberi gadai adalah :
1) Orang
atau badan hukum;
2) Memberikan
jaminan berupa benda bergerak;
3) Kepada
penerima gadai;
4) Adanya
pinjaman uang;
Penerima
gadai (pandnemer) adalah orang atau badan hukum yang menerima
gadai sebagai jaminan untuk pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi
gadai (pandgever). Di Indonesia, badan hukum yang ditunjuk
untuk mengelola lembaga gadai adalah perusahaan pegadaian. Perusahaan ini
didirikan berdasarkan :
1)
Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969
tentang Perusahaan Jawatan Pegadaian;
2)
Peraturan Pemerintah Nomor : 10 tahun 1970
tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor : 7 tahun 1969 tentang Perusahaan
Jawatan; dan
3)
Peraturan Pemerintah Nomor : 103 tahun 2000
tentang Perusahaan Umum (Perum) Pegadaian.
Sifat
usaha dari perusahaan pegadaian ini adalah menyediakan pelayanan bagi
kemanfaatan umum dan sekaligus memupuk keuntungan berdasarkan prinsip
pengelolaan perusahaan. Maksud dan tujuan perum ini adalah :
1)
Turut meningkatkan kesejahteraan masyarakat,
terutama golongan ekonomi lemah kebawah melalui penyediaan dana atas dasar
hukum gadai dan jasa dibidang keuangan lainnya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
2)
Menghindarkan masyarakat dari gadai gelap,
praktik riba dan pinjaman tidak wajar lainnya (Pasal 7 Peraturan Pemerintah
Nomor : 103 tahun 2000 tentang Perusahaan Umum Pegadaian.
Usaha
yang paling menonjol dilakukan oleh Perum Pegadaian adalah menyalurkan uang
(kredit) berdasarkan hukum gadai. Artinya bahwa barang yang digadaikan itu
harus diserahkan oleh pemberi gadai kepada penerima gadai, sehingga
barang-barang itu berada dibawah kekuasaan penerima gadai. Asas ini disebut
dengan asas inbezitzeteling.
5. Hak dan kewajiban Penerima Gadai dan Pemberi Gadai :
Hak penerima Gadai (pasal
1155 KUHPerdata)
1)
Menerima
angsuran pokok pinjaman dan bunga sesuai dengan waktu yang ditentukan
2)
Menjual
barang gadai, jika pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya setelah lampau
waktu atau setelah dilakukan peringatan untuk pemenuhan janjinya.
Kewajiban Penerima Gadai (Pasal 1154, 1156, 1157
KUHPerdata) :
1)
Menjaga
barang yang digadaikan sebaik-baiknya
2)
Tidak
diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan menjadi miliknya, walaupun
pemberi gadai wanprestasi.
3)
Memberitahukan
kepada pemberi gadai (debitur) tentang pemindahan barang-barang gadai.
4)
Bertanggung
jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai, sejauh itu terjadi akibat
kelalaiannya.
Hak Pemberi Gadai (Pasal 1155 KUHPerdata) :
1)
Menerima
Uang gadai dari penerima gadai
2)
Berhak
atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga dan biaya lainnya telah
dilunasinya.
3)
Berhak
menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual untuk melunasi
hutang-hutangnya.
Kewajiban Pemberi Gadai (Pasal 1154 KUHPerdata) :
1)
Menyerahkan
barang gadai kepada penerima gadai
2)
Membayar
pokok dan sewa modal kepada penerima gadai
3)
Membayar
biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk menyelamatkan barang-barang
gadai.
6. Terjadinya Hak Gadai
Untuk
terjadinya hak gadai harus memenuhi dua unsur mutlak, pertama, harus adanya
perjanjian pemberian gadai (perjanjian gadai) antara pemberi gadai (debitur
sendiri atau pihak ketiga) dan pemegang gadai (kreditur). Mengenai bentuk
hubungan hukum perjanjian gadai ini tidak ditentukan, apakah dibuat tertulis
ataukah cukup dengan lisan saja; hal itu hanya diserahkan kepada para pihak.
Apabila dilakukan secara tertulis, dapat dituangkan dalam akta notaris maupun
cukup dengan akta dibawah tangan saja. Namun yang terpenting, bahwa perjanjian
gadai itu dapat dibuktikan adanya. Ketentuan dalam pasal 1151 KUH Perdata
menyatakan persetujuan gadai dibuktikan dengan segala alat yang diperbolehkan
pembuktian persetujuan pokoknya. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 1151 KUH
Perdata tersebut, perjanjian gadai tidak dipersyaratkan dalam bentuk tertentu,
dapat saja dibuat dengan mengikuti bentuk perjanjian pokoknya, yang umumnya
perjanjian pinjam meminjam uang, perjanjian kredit bank, pengakuan hutang
dengan gadai barang, jadi bisa tertulis atau secara lisan saja.
Syarat
kedua yang mesti ada, yaitu adanya penyerahan kebendaan yang digadaikan
tersebut dari tangan debitur (pemberi gadai) kepada tangan kreditur (pemegang
gadai). Dengan kata lain, kebendaan gadainya harus berada dibawah penguasaan
kreditur (pemegang gadainya), sehingga perjanjian gadai yang tidak dilanjutkan
dengan penyerahan kebendaan gadainya kepada kreditur (pemegang gadai) yang
kemudian berada dalam penguasaan kreditur (pemegang gadai), maka hak gadainya
diancam tidak sah atau hal itu bukan suatu gadai, dengan konsekuensi tidak
melahirkan hak gadai.
7. HAPUSNYA GADAI
Hapusnya gadai telah ditentukan didalam pasal 1152
KUHPerdata dan Surat Bukti Kredit (SBK).
KUHPerdata Pasal 1152 ditentukan 2 cara hapusnya hak
gadai, yaitu :
1)
Barang
Gadai itu hapus dari kekuasaan pemegang gadai, dan
2)
Hilangnya
barang gadai atau dilepaskan dari kekuasaan penerima gadai surat bukti kredit.
BAB III
JAMINAN FIDUSIA
1. Pengertian Fidusia dan
Jaminan Fidusia
Fidusia menurut asal katanya berasal dari bahasa Romawi fides yang
berarti kepercayaan. Fidusia merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam
bahasa Indonesia. Begitu pula istilah ini digunakan dalam Undang-undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam terminologi Belanda istilah ini
sering disebut secara lengkap yaitu Fiduciare Eigendom Overdracht (F.E.O.) yaitu penyerahan hak milik secara kepercayaan.
Sedangkan dalam istilah bahasa Inggris disebut Fiduciary Transfer of Ownership.
Sebelum
keluar UU 42 tahun 1999 yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda
bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan, benda dagangan, piutang,
peralatan mesin dan kendaraan bermotor dengan keluarnya UU no 42 tahun 1999 mak
objek jaminan fidusia diberikan pengertian yang luas.
Pengertian
Fidusia sesuai UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia adalah:
1)
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas
dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya
dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
2)
Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda
bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak
khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana
dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang
tetap berada dalam penguasaan Pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima
Fidusia terhadap kreditor lainnya.
Menurut
DR A Hamsah dan Senjun Manulang, Fidusia adalah : Suatu cara
pengoperan hak milik dari pemiliknya (Debitur) berdasarkan adanya perjanjian
pokok (perjanjian hutang piutang) kepada kreditur, akan tetapi yang diserahkan
hanya haknya saja secara Yuridis Levering dan hanya dimiliki oleh
kreditur secara kepercayaan saja (sebagai jaminan hutang debitur)sedang kan
barangnya tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan lagi sebagai eigenaar
(pemilik) maupun beziter (menguasai) melainkan hanya
sebagai Detentor atau Holder dan atas nama kreditur
Eigenaar. Secara ringkas yaitu suatu cara pengoperan hak milik
dari Debitur kepada kreditur berdasarkan adanya perjanjian hutang piutang, yang
diserahkan hanya haknya saja secara Yuridise Levering sedang kan
barangnya tetap dikuasai oleh debitur tetapi bukan lagi sebagai eigenaar
(pemilik) maupun beziter (menguasai) melainkan hanya sebagai Detentor atau
Holder dan atas nama kreditur Eigenaar.
Jaminan
fidusia merupakan jaminan perseorangan, dimana antara Pemberi Fidusia dan
Penerima Fidusia saling memberikan kepercayaan, Pemberi Fidusia menyerahkan hak
kepemilikannya kepada Penerima Fidusia, namun Penerima Fidusia tidak langsung
memiliki objek yang menjadi jaminan fidusia tersebut yang diserahkan oleh
Pemberi Fidusia, sehingga jaminan fidusia merupakan suatu teori jaminan.
Fidusia
digunakan untuk benda bergerak maupun tidak bergerak. Jaminan fidusia lahir
karena pada prakteknya ada hal-hal yang tidak dapat terakomodasi dengan
“hipotik” dan “gadai”, misalnya saja dari bidang-bidang usaha seperti rumah
makan, kafe, dan lain-lain. Sedangkan untuk benda tidak bergerak, yang menjadi
objeknya adalah benda yang bukan merupakan objek hak tanggungan.
2. DASAR HUKUM JAMINAN FIDUSIA
·
Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fiducia/
UUJF
·
PP Nimor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan
Fiducia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fiducia
·
Keppres No. 139 Tahun
2000 Tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fiducia Di Setiap Ibu Kota Profinsi
Di Wilayah Negara Republik Indonesia.
3) SEJARAH JAMINANFIDUSIA
Terjadinya krisis dalam
bidang hukum jaminan pada pertengahan sampai dengan akhir abad 19,
mengakibatkan terjadinya pertentangan berbagai kepentingan. Krisis mana
ditandai dengan permasalahan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan pertanian
yang melanda negara Belanda bahkan seluruh negara-negara di Eropa. Seperti
telah disebut di atas kemudian lahirlah lembaga jaminan fidusia yang
keberadaannya didasarkan pada yurisprudensi.
Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57).
Sebagai salah satu jajahan negara Belanda, Indonesia pada waktu itu juga merasakan imbasnya. Untuk mengatasi masalah itu lahirlah peraturan tentang ikatan panen atau Oogstverband (Staatsblad 1886 Nomor 57).
Peraturan ini mengatur
mengenai peminjaman uang, yang diberikan dengan jaminan panenan yang akan
diperoleh dari suatu perkebunan. Dengan adanya peraturan ini maka dimungkinkan
untuk mengadakan jaminan atas barang-barang bergerak, atau setidak-tidaknya
kemudian menjadi barang bergerak, sedangkan barang-barang itu tetap berada
dalam kekuasaan debitor.
Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Kasusnya adalah sebagai berikut :
Seperti halnya di Belanda, keberadaan fidusia di Indonesia, diakui oleh yurisprudensi berdasarkan keputusan Hoogge-rechtshof (HGH) tanggal 18 Agustus 1932. Kasusnya adalah sebagai berikut :
Pedro Clignett meminjam uang
dari Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM) dengan jaminan hak milik atas
sebuah mobil secara kepercayaan. Clignett tetap menguasai mobil itu atas dasar
perjanjian pinjam pakai yang akan berakhir jika Clignett lalai membayar
utangnya dan mobil tersebut akan diambil oleh BPM. Ketika Clignett benar-benar
tidak melunasi utangnya pada waktu yang ditentukan, BPM menuntut penyerahan
mobil dari Clignett, namun ditolaknya dengan alasan bahwa perjanjian yang
dibuat itu tidak sah. Menurut Clignett jaminan yang ada adalah gadai, tetapi
karena barang gadai dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan debitor maka gadai
tersebut tidak sah sesuai dengan Pasal 1152 ayat (2) Kitab Undang-undang
Perdata. Dalam putusannya HGH menolak alasan Clignett karena menurut HGH
jaminan yang dibuat antara BPM dan Clignett bukanlah gadai, melainkan
penyerahan hak milik secara kepercayaan atau fidusia yang telah diakui oleh
Hoge Raad dalam Bierbrouwerij Arrest. Clignett diwajibkan untuk menyerahkan
jaminan itu kepada BPM.
Pada waktu itu, karena sudah
terbiasa dengan hukum adat, penyerahan secara constitutum possessorium sulit
dibayangkan apalagi dimengerti dan dipahami oleh orang Indonesia. Dalam
prakteknya, dalam perjanjian jaminan fidusia diberi penjelasan bahwa barang itu
diterima pihak penerima fidusia pada tempat barang-barang itu terletak dan pada
saat itu juga kreditor menyerahkan barang-barang itu kepada pemberi fidusia
yang atas kekuasaan penerima fidusia telah menerimanya dengan baik untuk dan
atas nama penerima fidusia sebagai penyimpan.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum posses-sorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotek. Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak.
Walaupun demikian, sebenarnya konsep constitutum posses-sorium ini bukan hanya monopoli hukum barat saja. Kalau kita teliti dan cermati, hukum adat di Indonesia pun mengenal konstruksi yang demikian. Misalnya tentang gadai tanah menurut hukum adat. Penerima gadai biasanya bukan petani penggarap, dan untuk itu ia mengadakan perjanjian bagi hasil dengan petani penggarap (pemberi gadai). Dengan demikian pemberi gadai tetap menguasai tanah yang digadaikan itu tetapi bukan sebagai pemilik melainkan sebagai penggarap. Setelah adanya keputusan HGH itu, fidusia selanjutnya berkembang dengan baik di samping gadai dan hipotek. Dalam perjalanannya, fidusia telah mengalami perkembangan yang cukup berarti. Perkembangan itu misalnya menyangkut kedudukan para pihak. Pada zaman Romawi dulu, kedudukan penerima fidusia adalah sebagai pemilik atas barang yang difidusiakan, akan tetapi sekarang sudah diterima bahwa penerima fidusia hanya berkedudukan sebagai pemegang jaminan saja.
Tidak hanya sampai di situ, perkembangan selanjutnya juga menyangkut kedudukan debitor, hubungannya dengan pihak ketiga dan mengenai objek yang dapat difidusiakan. Mengenai objek fidusia ini, baik Hoge Raad Belanda maupun Mahkamah Agung di Indonesia secara konsekuen berpendapat bahwa fidusia hanya dapat dilakukan atas barang-barang bergerak.
Namun dalam praktek kemudian
orang sudah menggunakan fidusia untuk barang-barang tidak bergerak. Apalagi
dengan berlakunya Undang-undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 tahun 1960) perbedaan
antara barang bergerak dan tidak bergerak menjadi kabur karena Undang-undang
tersebut menggunakan pembedaan berdasarkan tanah dan bukan tanah.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objeknya adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia objeknya adalah benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
4) SUBYEK DAN OBYEK JAMNIQNAN FIDUSIA
·
Subyek Jaminan Fidusia
Subyek Jaminan Fidusia
adalah pemberi dan penerima Jaminan Fidusia.45 Pemberi Fidusia adalah orang perseorangan/korporasi
pemilik benda yang menjadi Obyek Jaminan Fidusia (Pasal 1 butir 5 UUF),
sedangkan Penerima Fidusia adalah orang perseorangan/korporasi yang mempunyai
piutang yang pembayarannya dijamin dengan Jaminan Fidusia (Pasal 1 butir 6
UUF).
·
Obyek Jaminan Fidusia
Obyek Jaminan Fidusia
adalah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan dialihkan baik yang berwujud,
yang terdaftar, tidak terdaftar, yang bergerak, tidak bergerak yang tidak dapat
dibebani dengan Hak Tanggungan atau Hipotek (Pasal 1 butir 4 UUF). Mengenai
obyek jaminan fidusia dalam Pasal 10 UUF disebutkan bahwa :
Kecuali diperjanjikan lain
:
1)
Jaminan Fidusia meliputi hasil dari benda
yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Yang dimaksud dengan “hasil dari benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia” adalah segala sesuatu yang diperoleh dari benda
yang dibebani jaminan fidusia.
2)
Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi,
dalam hal benda yang menjadi obyek fidusia diasuransikan.
5) Lahirnya
Fidusia
Fidusia
lahir dalam praktek hukum yang dituntun oleh yurisprundensi, baik yurisprudensi
di negeri Belanda maupun yurisprudensi di Indonesia. Sebagai pranata hukum yang
lahir dari praktek, dan tidak mendapat pengaturan yang berarti dalam peraturan
perundang-undangan, maka tidak terdapat pengaturan dari segi prosedural dan
proses. Sebab yurisprudensi tentang fidusia sampai mengatur tentang prosedural
dan proses tersebut. Karena itu tidak mengherankan jika kewajiban pendaftaran
sebagai salah satu mata rantai dari prosedur lahirnya fidusia tidak diatur, sehingga
tidak ada kewajiban pendaftaran tersebut bagi jaminan fidusia.
Ketidakadaan
kewajiban pendaftaran tersebut sangat dirasakan dalam praktek sebagai kelemahan
bagi pranata hukum fidusia. Sebab disamping menimbulkan ketidak-pastian hukum,
absennya kewajiban pendaftaran jaminan fidusia tersebut menjadikan jaminan
fidusia tidak memenuhi unsur publisitas, sehingga susah dikontrol. Hal ini
dapat menimbulkan hal-hal yang tidak sehat dalam praktek, seperti adanya
fidusia dua kali tanpa sepengetahuan krediturnya, adanya pengalihan barang
fidusia tanpa sepengetahuan kreditur, dan lain-lain.
Mengingat
betapa pentingnya fungsi pendaftaran bagi suatu jaminan hutang termasuk jaminan
fidusia ini, maka Undang-Undang Jaminan Fidusia kemudian mengaturnya dan
mewajibkan setiap jaminan fidusia untuk didaftarkan pada pejabat yang
berwenang. Sejalan dengan hal tersebut pemerintah segera menindaklanjuti
prosedur maupun tata laksana pendaftaran jaminan fidusia, yaitu dengan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.68 tahun 2000 tengan
Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia.
Oleh karenanya dapat dikatakan bahwa pendaftaran fidusia merupakan satu faktor
penting yang harus diperhatikan dalam rangka lebih menciptakan kepastian hukum
bagi para kreditur, dan untuk menghindari pemanfaatan kondisi ketidakadaan
hukum yang mengatur oleh para debitur yang beritikad tidak baik.
ketentuan
Pasal 11 dan Penjelasan Undang-Undang Jaminan Fidusia, antara lain ditentukan
dan dijelaskan bahwa:
1)
Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia
wajib didaftarkan.
2)
Pendaftaran mencakup benda yang berada di
dalam maupun di luar wilayah negara RI.
3)
Pendaftaran benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia dilaksanakan di tempat kedudukan pemberi fidusia.
4)
Pendaftaran dilakukan dengan mengajukan suatu
permohonan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan disertai surat pernyataan
pendaftaran jaminan fidusia. Apakah tidak berlebihan kalai sudah ada permohonan
pendaftaran masih harus disertai dengan surat pernyataan pendaftaran. Surat ini
penting untuk pegangan, sebelum Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan
sertifikat jaminan fidusia.
5)
Permohonan dilakukan oleh penerima fidusia,
yaitu hak penerima fidusia untuk mendaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia
adalah hak yang sudah diberikan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia. Namun
ternyata dalam blanko Akta Jaminan Fidusia yang dipakai oleh salah satu bank,
di dalamnya diperjanjikan suatu kuasa dari pemberi fidusia kepada penerima
fidusia untuk melaksanakan pendaftaran.
Ketentuan
tersebut di atas patut dan logis karena bukankah yang paling berkepentingan
untuk itu adalah kreditur penerima fidusia. Adalah terserah kepadanya, apakah
ia merasa cukup aman dengan memegang akta pengikatan fidusia saja, ataukah ia
menghendaki jaminan yang lebih kuat dan karenanya ia mendaftarkannya di Kantor
Pendaftaran Fidusia.
Dalam
sertifikat jaminan fidusia dicantumkan frasa “Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Sedangkan
pihak yang berhak mendaftarkan, selain daripada penerima fidusia sendiri,
adalah kuasanya atau wakilnya, kiranya tidak perlu diatur dalam Undang-Undang
Jaminan Fidusia. Yang demikian itu adalah sudah sesuai dengan asas hukum umum
yang berlaku. Walaupun tidak dijelaskan lebih lanjut, namun sudah bisa diduga,
bahwa pembedaan antara kuasa dan wakil adalah, bahwa kewenangan mewakili
prinsipal dari seorang kuasa didasarkan atas kehendak dari prinsipal, yang bisa
secara lisan maupun dituangkan dalam suatu akta, sedang pada wakil kewenangan
itu didasarkan atas ketentuan undang-undang dan/atau anggaran dasar seperti
pada Direksi suatu Perseroan Terbatas (vide Pasal 82 Undang-Undang No. 1 Tahun
1995 tentang Perseroan Terbatas).
Adapun
data-data yang didaftarkan dalam fidusia ini, ditentukan di dalam Pasal 13 ayat
2 Undang-Undang Jaminan Fidusia disebutkan apa saja yang harus termuat dalam
pernyataan pendaftaran, yang kalau kita simak, ternyata sesuai dan karenanya
sudah termuat dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Jaminan Fidusia, mengenai
apa yang harus dimuat dalam akta jaminan fidusia, dan Pasal 5 Undang-Undang
Jaminan Fidusia, yang mengharuskan penuangan penjaminan fidusia dalam suatu
akta otentik. Karena dalam akta otentik selalu memuat tanggal dan nomor akta,
nama dan tempat kedudukan notaris yang bersangkutan, maka sebenarnya cukup
dikatakan, bahwa pernyataan pendaftaran harus dilengkapi dengan salinan akta
otentik penjaminan fidusia. Hal ini berkaitan dengan masalah pendaftaran ikatan
jaminan fidusia, bukan benda jaminan fidusia, sehingga semua klausula yang
termuat dalam perjanjian penjaminan fidusia, turut terdaftar, agar dengan
demikian mempunyai daya mengikat pihak ketiga.
Sedangkan
jaminan fidusia sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang
Jaminan Fidusia, lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal pendaftaran
jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia. Karena pendaftaran dalam buku daftar
dilakukan pada hari penerimaan permohonan, maka tanggal lahir jaminan fidusia
adalah juga tanggal terimanya permohonan pendaftaran. Karena pada prinsipnya
tidak bisa ada fidusia 2 (dua) kali berturut-turut atas benda jaminan fidusia
yang sama, maka tanggal pendaftaran tersebut adalah juga tanggal lahirnya
jaminan fidusia, mempunyai arti yang penting sekali, dalam hal debitur pemberi
fidusia dengan melanggar ketentuan Pasal 17 Undang-Undang Jaminan Fidusia,
yaitu menfidusiakan benda jaminan fidusia 2 (dua) kali atau lebih kepada 2
(dua) atau lebih kreditur yang berlainan.
Hal
yang dapat menimbulkan kesulitan bagi kreditur terhadap ketentuan Undang-Undang
Jaminan Fidusia. Pasal 11 UU dapat menimbulkan kerancuan bila dikaitkan dengan
Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia yang berbunyi “pendaftaran
jaminan fidusia” sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang
Jaminan Fidusia dilakukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia. Kerancuan yang
timbul dalam Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Jaminan Fidusia ditentukan bahwa
yang wajib didaftarkan adalah jaminan fidusia. Sehingga di sini timbul
pertanyaan bahwa sebenarnya yang menjadi obyek jaminan fidusia itu didaftarkan
atau tidak.
Lebih
lanjut tentang obyek jaminan fidusia ini adalah, adanya bahaya sehubungan
dengan diakuinya pemberian jaminan dengan “costitutum possessorium” bisa
muncul adalah, bahwa seorang debitur yang merasa, bahwa ia tidak dapat memenuhi
kewajiban perikatannya sebagaimana mestinya dan sudah melihat gejala akan
datangnya sita jaminan atas harta miliknya, dengan mudah bisa mengatakan, bahwa
harta miliknya telah dijaminkan melalui penyerahan secara kepercayaan kepada
seorang anggota keluarganya, dan barang-barang yang ada padanya ia pegang
sebagai peminjam-pakai dari krediturnya.
Jadi
di sini seorang debitur yang telah menjaminkan benda miliknya secara
kepercayaan dengan tetap memegang benda tersebut sebagai peminjam pakai,
kemudian, untuk menghindari eksekusi pura-pura menjaminkan lagi secara
kepercayaan kepada orang lain, atau bentuk-bentuk lainnya seperti salah satunya actio
pauliana.
Sedangkan
tujuan dari pendaftaran adalah untuk memberikan kepastian hukum kepada penerima
dan pemberi fidusia serta pihak ketiga yang berkepentingan. Segala keterangan
mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia yang ada pada Kantor Pendaftaran
Fidusia terbuka untuk umum.
Melalui
sistem pendaftaran ini diatur ciri-ciri yang sempurna dari jaminan fidusia
sehingga memperoleh sifat sebagai “hak kebendaan” (right in rem) yang
menyandang asas “droit de suit”, hak jaminan itu mengikuti bendanya, kecuali
terhadap benda persediaan (inventory goods).
Selanjutnya,
berbicara tentang pernyataan pendaftaran fidusia dan pernyataan perubahan
disebutkan, bahwa permohonan pendaftaran fidusia disampaikan ke Kantor
Pendaftaran Fidusia dengan melampirkan suatu naskah yang disebut dengan
Pernyataan Pendaftaran Fidusia, dalam hal ini, karena yang disampaikan adalah
pernyataan pendaftaran, maka Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bersifat
konstitutif dalam arti bahwa dia tidak melakukan penilaian atas kebenaran atau
menyatakan/menjamin kebenaran dari data dalam pernyataan pendaftaran. Akan
tetapi, Kantor Pendaftaran Fidusia hanya berfungsi sebagai instansi yang
melakukan pengecekan administrasi saja.
Dalam
pernyataan pendaftaran fidusia dimuat hal-hal sebagai berikut:
1)
Identitas pihak pemberi fidusia.
2)
Identitas pihak penerima fidusia.
3)
Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
4)
Nama dan tempat kedudukan notaris yang
membuat akta jaminan fidusia.
5)
Data perjanjian pokok (perjanjian hutang)
yang dijamin dengan fidusia.
6)
Uraian mengenai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
7)
Nilai penjaminan.
8)
Nilai benda yang menjadi objek jaminan
fidusia.
Selanjutnya
sertifikat jaminan fidusia dan kekuatan pembuktiannya dapat dikatakan, bahwa
sebagai bukti penerima fidusia memiliki hak fidusia tersebut, maka kepadanya
diserahkan dokumen-dokumen yang disebut dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.
Ketentuan-ketentuan mengenai Sertifikat Jaminan Fidusia ini adalah sebagai
berikut:
1)
Diterbitkan oleh Kantor Pendaftaran Fidusia.
2)
Sertifikat tersebut diserahkan kepada
penerima fidusia.
3)
Tanggal dari sertifikat tersebut adalah sama
dengan tanggal penerimaan permohonan fidusia.
4)
Sertifikat Jaminan Fidusia merupakan salinan
dari Buku Daftar Fidusia.
5)
Isi dari Sertifikat Jaminan Fidusia antara
lain adalah hal-hal yang disebut dalam pernyataan fidusia, yaitu sebagai
berikut:
·
Identitas pihak pemberi fidusia.
·
Identitas pihak penerima fidusia.
·
Tanggal dan nomor akta jaminan fidusia.
·
Nama dan tempat kedudukan notaris yang
membuat akta jaminan fidusia.
·
Data perjanjian pokok (perjanjian hutang)
yang dijamin dengan fidusia.
·
Uraian mengenai benda yang menjadi objek
jaminan fidusia.
·
Nilai penjaminan.
6)
Pada Sertifikat Jaminan Fidusia dicantumkan
pula irah-irah dengan tulisan: Demi Keadilan Berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
7)
Dengan demikian Sertifikat Jaminan Fidusia
mempunyai kekuatan eksekutorial, yakni mempunyai kekuatan yang sama dengan
kekuatan dari suatu putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan tetap.
8)
jika terjadi perubahan atas data yang
tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia, maka penerima fidusia wajib
mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran
Fidusia
9)
jika ada pengajuan permohonan
pendaftaran tersebut, maka:
·
Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat pada buku
daftar fidusia tentang perubahan tersebut.
·
Pencatatan tersebut dilakukan pada tanggal
yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan pendaftaran.
·
Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan
pernyataan perubahan.
·
Pernyataan perubahan merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dengan Sertifikat Jaminan Fidusia.
Tentu
saja karena Sertifikat Jaminan Fidusia dikeluarkan oleh instansi yang sah dan
berwenang, dalam hal ini
Kantor Pendaftaran Fidusia, maka sertifikat itu mempunyai kekuatan pembuktian
yang kuat sebagai suatu akta otentik, dan hanya Kantor Pendaftaran Fidusia
sebagai satu-satunya yang berwenang mengeluarkan sertifikat penjaminan fidusia
tersebut. Karena itu pula, Jika ada alat bukti Sertifikat Jaminan Fidusia, dan
sertifikat tersebut adalah sah, maka alat bukti lain dalam bentuk apapun harus
ditolak. Para pihak tidak cukup misalnya hanya membuktikan adanya fidusia
dengan hanya mempertunjukkan Akta Jaminan Fidusia yang dibuat oleh notaris.
Sebab, menurut Pasal 14 ayat 3 Undang-Undang Penjaminan Fidusia, lembaga
fidusia dianggap belum lahir. Lahirnya fidusia tersebut adalah pada saat
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia.
E. Pengalihan dan Hapusnya Fidusia
1. Pengalihan
hak atas piutang
Piutang pada prinsipnya
dapat dialihkan kepada pihak lain dengan cessie piutang. Dalam hal ini,
pengalihan piutang tersebut haruslah dibuat dalam akta cessie (baik notarial
ataupun di bawah tangan) sesuai dengan ketentuan yang terdapat dalam
KUHPerdata. Permasalahan timbul bilamana piutang yang dijaminkan dengan fidusia
beralih kepada pihak lain.
Pasal 19 Undang-Undang
Jaminan Fidusia menentukan bahwa jika piutang dialihkan kepada pihak lain, maka
fidusia yang menjamin hutang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang
menerima pengalihan fidusia. Jadi, pihak penerima fidusia beralih secara hukum
kepada penerima pengalihan piutang tersebut.
Hal ini juga sesuai dengan
prinsip perjanjian jaminan fidusia sebagai jaminan yang assesoir, yaitu
mengikuti perjanjian piutang (perjanjian pokok). Hanya saja, ada kewajiban bagi
penerima fidusia yang menerima pengalihan piutang, yakni adanya kewajiban untuk
mendaftarkan pengalihan piutang dan oleh karenanya juga pengalihan fidusia
kepada Kantor Pendaftaran Fidusia.
2. Pengalihan
benda objek jaminan fidusia
Prinsip
dari jaminan fidusia adalah bahwa jaminan fidusia tersebut mengikuti kemanapun
benda jaminan tersebut berada. Jadi, seandainya karena alasan apapun. Benda
jaminan fidusia tersebut beralih ke tangan orang lain, maka fidusia atas benda
itu tetap saja berlaku. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan
Fidusia.
Ini memperlihatkan
ambivalensi dari jaminan fidusia. Sebab, disatu pihak dengan jaminan fidusia
tersebut, hak kepemilikan dianggap sudah berpindah secara constitutum
possessorium kepada penerima fidusia, tetapi dilain pihak hak
kepemilikan tersebut justru tetap berada ditangan si pemberi fidusia, sehingga
pihak pemberi fidusia tetap dapat mengalihkan fidusia, walaupun harus dengan
persetujuan pihak penerima fidusia (Pasal 23). Yang terjadi adalah hanya
pemberian jaminan saja.
Apabila konsekuen bahwa hak
miliknya sudah berpindah dengan terjadinya fidusia tersebut, tentunya benda
objek fidusia tersebut tidak mungkin beralih atau dialihkan oleh pihak pemberi
fidusia, walaupun dengan persetujuan tertulis dari pihak penerima fidusia
(lihat Pasal 23), karena bagaimana benda tersebut dapat beralih atau dialihkan,
jika benda tersebut sudah dialihkan dan bukan miliknya lagi. Akan tetapi,
berbeda dengan halnya dalam pengalihan piutang yang dijamin oleh jaminan
fidusia yang tentunya untuk hal ini dimungkinkan oleh undang-undang lewat
mekanisme cessie piutang, dan karenanya fidusia pun ikut beralih. Hal ini
wajar, mengingat yang mengalihkan piutang dan fidusia itu bukanlah pihak
pemberi fidusia tetapi pihak penerima fidusia, kepada siapa memang sudah
diserahkan hak atas benda jaminan fidusia secaraconstitutum posssessorium.
3. Benda
persedian sebagai objek fidusia
Ada kekecualian dari
prinsip beralihnya fidusia jika benda objek Jaminan Fidusia dialihkan, yaitu
jika benda tersebut merupakan barang persedian (stock perdagangan). Dalam hal
ini, sesuai dengan sifat benda tersebut yang memang selalu beralih-alih, maka
beralihnya benda persedian tersebut tidak menyebabkan beralihnya fidusia yang
bersangkutan. Hal ini telah ditegaskan dalam Pasal 20 Undang-Undang Jaminan
Fidusia, yang menyatakan bahwa:
Jaminan Fidusia tetap
mengikuti benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapapun benda
tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persedian yang menjadi objek
Jaminan Fidusia.
3.
Pengalihan objek jaminan fidusia oleh pemberi
fidusia
Sebagaimana
diketahui bahwa pada prinsipnya pemberi fidusia tidak boleh mengalihkan benda
Objek Jaminan Fidusia mengingat Undang-undang Nomor 42 Tahun 1999 masih
menganggap ada pengalihan hak (secara constitutum posessorium) atas
benda Jaminan Fidusia kepada pihak penerima fidusia. Karena itu, pihak pemberi
fidusia tidak berwenang lagi untuk mengalihkan benda tersebut. Kekecualian atas
larangan tersebut dibuka manakala hal tersebut dibenarkan secara tertulis oleh
pihak penerima fidusia (Pasal 23) atau jika benda Objek Jaminan Fidusia adalah
benda persediaan (Pasal 20). Di mana dalam hal ini pemberi fidusia masih dapat
mengalihkan benda Objek Jaminan Fidusia menurut cara-cara prosedur yang lazim
dilakukan dalam usaha perdagangan.
Akan tetapi, untuk
melindungi pihak penerima fidusia sebagai yang dijaminkan hutangnya, dalam hal
ini pemegang fidusia mengalihkan benda persedian, maka pemberi fidusia
diwajibkan mengganti benda persediaan yang telah dialihkan tersebut dengan
benda yang setara. Dalam hal ini setara dalam arti jenis maupun nilainya.
Namun demikian, apabila
terjadi wanprestasi oleh debitur, maka:
1)
Benda persediaan yang menjadi objek fidusia
tidak dapat dialihkan lagi, dan
2) Hasil
pengalihan dan/atau tagihan yang timbul karena pengalihan, demi hukum menjadi
Objek Jaminan Fidusia pengganti dari Objek Jaminan Fidusia yang telah
dialihkan. Proses penyetoran pengalihan barang persedian sebagai Jaminan
Fidusia ini bila terjadi wanprestasi disebut dengan proses “Kristalisasi”.
Manakala benda persediaan
objek jaminan fidusia tersebut dialihkan kepada pihak ketiga, maka pembeli benda
persediaan tersebut terbebas dari tuntutan, meskipun pembeli tersebut
mengetahui tentang adanya Jaminan Fidusia tersebut. Satu dan lain hal dengan
mengingat bahwa pembeli telah membayar lunas harga penjualan benda tersebut
sesuai dengan hargan pasar. Hal ini sejalan dengan ketentuan bahwa pemegang
benda bergerak dianggap oleh hukum sebagai pemegang hak, sehingga pembeli atas
benda tersebut haruslah dilindungi (lihat Pasal 22 Undang-undang Jaminan
Fidusia juncto Pasal 1977 KUHPerdata).
Terhadap pembebanan fidusia
yang berobjekkan barang persediaan ini, dalam hukum Anglo Saxon dikenal dengan
nama floating Lienatau Floating Charge. Yang
dimaksudkan adalah an equitable charge on the assets for the time being
of a going concern (Bedi, H.L., dan Hardikar, V.K., 1997:138).
Disebut dengan “floating”
(mengambang) karena jumlahnya benda yang menjadi objek Jaminan berubah-ubah
sesuai dengan persediaan stok, mengikuti irama pembelian dan penjualan dari
benda tersebut.33
Sifat mengambang (floating)
dari floating charges ini berubah menjadi spesifik (specific
charges) manakala terjadi suatu tindakan yang disebut dengan Kristalisasi (crystalisation).
Sebagai perbandingan, di Inggris tindakan kristalisasi ini terjadi apabila
terjadi keadaan-keadaan sebagai berikut:
1) Pengumuman
pemberesan dalam likuidasi suatu perusahaan.
2) jika
terjadi wanprestasi atas surat berharga yang di jamin dengan floating
charges.
3) Jika
diangkat reciever (kurator) oleh pengadilan.
BAB
IV
PENUTUP
Dari
makalah tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa gadai adalah Suatu hak
yang diperoleh seorang kreditor atas suatu barang bergerak yang bertubuh maupun
tidak bertubuh yang diberikan kepadanya oleh debitor atau orang lain atas
namanya untuk menjamin suatu hutang, dan yang memberikan kewenangan kepada
kreditor untuk mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu daripada
kreditor-kreditor lainnya terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana
harus didahulukan.
Jaminan
fidusia merupakan jaminan perseorangan, dimana antara Pemberi Fidusia dan
Penerima Fidusia saling memberikan kepercayaan, Pemberi Fidusia menyerahkan hak
kepemilikannya kepada Penerima Fidusia, namun Penerima Fidusia tidak langsung
memiliki objek yang menjadi jaminan fidusia tersebut yang diserahkan oleh
Pemberi Fidusia, sehingga jaminan fidusia merupakan suatu teori jaminan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar